Kepemilikan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) perindustrian di Indonesia cenderung masih rendah. Hal ini dikarenakan proses atau mekanisme pendaftaran yang rumit serta biaya relative mahal yang diperlukan pada proses pendaftaran.
Demikian disampaikan Kepala Lembaga Penelitian, Pengembangan, Pendidikan dan Masyarakat – Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (LP3M-UMY), Dr. Mukti Fajar ketika ditemui terkait keikutsertaannya dalam The Japan Patent Office/Intellectual Property Riit Training Program for Fiscal 2010 di Jepang 27 September hingga 15 Oktober mendatang.
Menurutnya biaya pendaftaran HAKI mungkin tidak mahal tetapi biaya pada proses pendaftarannya yang membutuhkan banyak biaya. Mulai dari pembuatan proposal sampai dengan membayar konsultan. “Belum lagi mekanisme pendaftarannya yang rumit,”jelasnya di Kampus Terpadu UMY Sabtu (18/9).
Dosen Fakultas Hukum UMY ini memamparkan, HAKI pada dasarnya merupakan perlindungan atas karya seseorang berdasarkan intelektual, usaha dan daya pikir manusia. Dimana oleh hukum diberikan hak kepemilikan atau hak kebendaan atas karyanya. “Misalnya ada yang menemukan sebuah mesin, ketika sudah didaftarkan HAKI si penemu mempunyai hak atas proses pembuatan mesin tersebut. Jika ada yang membuat mesin yang sama tanpa seijin si penemu maka yang membuat mesin tersebut akan diproses secara hukum,”urainya
Namun selama ini kepemilikan HAKI masih sebatas dilakukan oleh industri-industri besar sedangkan industri kecil dan menengah cenderung masih belum banyak dilakukan. “Lagi-lagi terkait dengan rumitnya mekanisme dan banyaknya biaya yang harus dikeluarkan,”ujarnya.
Padahal melalui HAKI selain diakui hak ciptanya, juga dapat melipatgandakan nilai ekonomi. Serta dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap suatu produk. “Karena dengan memiliki HAKI suatu produk lebih dianggap berkualitas dan legal. Sehingga orang tidak ragu membayar mahal ketika membeli atau menggunakan produk tersebut,”katanya.
Mukti menuturkan belum banyaknya industri-industri di Indonesia yang memiliki HAKI menyebabkan produk-produk Indonesia dinilai kurang berkelas dan akan merugikan produsen produk tersebut. Misalnya produsen tas atau furniture di Indonesia menjual produknya yang belum memiliki HAKI pada pihak asing.
“Menurutnya mereka telah mendapatkan keuntungan dari penjualan tersebut. Padahal pihak asing mendapatkan lebih banyak keuntungan dari pembelian produk tersbut. Karena mereka kemudian memberikan merek pada produk tersebut dan menjual berkali-kali lipat dibandingkan ketika membeli produk mentahan pada produsen di Indonesia. Ini hanya gara-gara produk tersebut belum memiliki HAKI,”tuturnya.
Terkait keikutsertaannya dalam The Japan Patent Office/Intellectual Property Riit Training Program for Fiscal 2010, Mukti menguraikan, dalam kegiatan tersebut dia akan mengikuti serangkaian pelatihan maupun diskusi mengenai bagaimana memberikan penjelasan kepada publik sampai dengan bagaimana cara publik untuk mendapatkan HAKI tersebut.
”Semoga melalui keikutsertaan dalam kegiatan ini nantinya dapat melindungi dan memfasilitasi industri-industri di Indonesia terutama industri kecil dalam memperoleh HAKI.”tegasnya.