Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas uji materiil UU nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, terutama terkait outsourcing telah menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Padahal Keputusan MK tersebut sebenarnya merupakan suatu upaya perlindungan terhadap kelangsungan kerja dan hak-hak pekerja outsourcingitu sendiri. Hal tersebut harus diimplementasikan dalam perjanjian. Jangan hanya fokus pada perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), tetapi harus ada klausula yang memungkinkan pekerja outsourcing dapat terus bekerja dan makin sejahtera.
Hal tersebut disampaikan oleh Dr. H. Ahmad Fadil Sumadi, S.H., Hakim Konstitusi MK-RI, sekaligus alumni Fakultas Hukum UMY, saat menjadi pembicara dalam Kuliah Umum bertema “Mahkamah Konstitusi dan Outsourcing”, bertempat di Kampus Terpadu UMY, Jumat (27/4).
Ahmad mengatakan, saat ini perusahaan outsourcing masih memposisikan pekerja sebagai pihak yang lemah. “Saat ini, posisi pekerja cenderung lemah. Seharusnya, posisi pekerja dengan yang mempekerjakan dapat sejajar, sehingga ada kebebasan untuk membuat kontrak,” ujarnya.
Menurut Ahmad, yang terjadi saat ini, pekerja sebenarnya melakukan pekerjaan tetap, namun lama dia bekerja tidak dapat serta merta meningkatkan kesejahteraannya. “Kasus yang terjadi adalah pekerja sebenarnya pekerjaannya tetap. Tapi karena perusahaan outsourcing-nya berubah-ubah maka kepastian bekerja di hari esok tidak ada jaminan. Selain itu, lama dia bekerja juga tidak dihitung, sehingga penghargaan atas pengalaman kerja juga tidak ada,” lanjutnya.
Sementara Dekan Fakultas Hukum UMY, H. Muhammad Endrio Susilo, S.H., MCL mengatakan, hadirnya pembicara dari MK adalah untuk memberikan pemahaman kepada mahasiswa FH UMY akan kasus terkini, khususnya mengenai outsourcing. “Diharapkan mahasiswa akan mendapat pemahaman dari praktisi, dalam hal ini MK, yang langsung terjun dalam keputusan-keputusan di lapangan”, pungkasnya.