Konflik golkar semakin hari semakin berkepanjangan, tentu hal ini akan merugikan bagi partai golkar tersebut. Kubu Ical dan Kubu Agung yang terus –menerus bertarung akhirnya memecah belah partai, kader, dan juga pendukung partai Golkar. Pada putusan Majelis sidang Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) menerima gugatan Partai Golkar kubu Aburizal Bakrie (ARB) terhadap surat keputusan Menteri Hukum dan HAM (SK Menkumham) yang mengesahkan kepengurusan Golkar kubu Agung Laksono. “Memang keputusan yang diturunkan oleh PTUN akan menguntungkan Kubu Ical karena mendapatkan kemenangan, namun akibat putusan PTUN itu Kubu Agung pun kembali melakukan banding. Jika dilihat keputusan PTUN ini belum sepenuhnya dapat menyelesaikan masalah dari kedua kubu tersebut, karena ini baru putusan PTUN belum pada putusan Pengadilan Negeri, “ jelas Bambang Eka Cahya Widodo, SIP., M.Si selaku dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) dan juga pakar politik, saat dihubungi pada Selasa (19/5).
Bambang menegaskan kembali, bahwa putusan PTUN itu belum seutuhnya final karena putusan yang dikeluarkan oleh PTUN itu sengketa perdata kepengurusan pada partai Golkar. Lagi pula putusan tersebut belum mendapatkan pengakuan dari pemerintah. Memenangkan putusan dari PTUN ini hanya sekedar membatalkan kepengurusan saja. Selain itu putusan ini seharusnya diberikan pada putusan pengadilan negeri. “Apabila ditaruh ke pengadilan negeri pastinya hasil putusannya akan berbeda, hal inilah yang kemudian akan memunculkan konflik individualisme. Konflik itu yang harus menjadi perhatian lebih, sehingga dapat terselesaikan dengan baik, “ tegasnya.
Permasalahan yang berkepanjangan ini tentunya akan menurunkan reputasi Golkar di hadapan pendukung dan juga kader-kadernya. “Kasus ini jelas akan merugikan partai Golkar, jika partai Golkar tersebut tidak segera menyelesaikan masalah ini maka Golkar reputasi Golkar akan menurun dan akan ditinggalkan oleh pendukung dan juga kader-kadernya secara tidak langsung. Karena hal ini akan berpengaruh pada pelaksanaan pilkada 2015 yang akan dilakukan secara serentak. Untuk itu sebelum permaslahan semakin mengakar lebih baik segera dipertimbangkan masalah demi masalah yang muncul terus-menerus, “ terangnya.
Bambang menambahkan bahwa, untuk mengikuti pilkada tersebut tentunya membutuhkan kekuatan pada partai politik tersebut. “Kita harus mematuhi peraturan KPU dalam melaksanakan Pilkada 2015 nantinya. Apabila kekuatan politik tidak dibangun secara mendalam maka kemungkinan besar mereka menang sangat kecil. Sudah pasti hal ini akan merugikan partai Golkar dalam memperebutkan kursi dalam pilkada nantinya. karena, partai yang seperti itu tidak punya hak untuk mencalonkan partainya di pemilihan legislatif, “ tambahnya.
Konflik yang tak kunjung henti ini tentunya akan ditinggalkan oleh kader pendukung partai Golkar, yang nantinya akan menimbulkan perpecahan partai. “Pertengkaran yang tak kunjung reda ini akan memecah belah partai Golkar. Seperti Nasdem dan Hanura merupakan partai yang terpecah dalam partai Golkar. Jadi intinya jika permasalahan ini tak kunjung usai maka akan muncul partai-partai baru yang tentunya akan menjadi pesaing bagi partai Golkar dalam pemilu. Partai Golkar akan terus terperangkap dalam konflik yang berkepanjangan ini, “ paparnya.
Bambang menegaskan bahwa, bukan hal yang tabu lagi jika masalah ini terus berlanjut maka Golkar akan ditinggalkan oleh pendukung dan juga kader-kadernya yang lain. Apalagi ini mendekati pemilu ketika permasalahan ini tak kunjung usai tentu wali kota yang merupakan kader partai Golkar ini akan mengundurkan diri dan akan memilih partai lain untuk digunakan sebagai kendaraannya dalam berpolitik dan dalam pilkada nantinya. “Selama itu terjadi maka akan terjadi penggembosan partai. Seperti yang terjadi di Sulawesi Selatan dan Gorontalo yang menyatakan bahwa partai Golkar menang di daerah tersebut, hal ini tentunya didukung karena banyaknya masyarakat yang mendukung partai Golkar namun jika masalah ini tidak selesai maka kemungkinan besar pindah ke partai lain sangat mungkin, “ tegasnya.
Perpindahan partai politik yang dilakukan oleh pencalonan wali kota ini sudah sering terjadi, imbuh Bambang lagi. Ketika partai politik mendapatkan masalah maka secara cepat, tanggapan para calon wali kota tersebut akan mimilih untuk berpindah ke partai lain. karena jika tidak ini akan merugikan bagi pencalonannya. Ketika pindah ke partai lain tentunya partai lain akan membuka tangan lebar-lebar karena, mereka yang pindah memiliki banyak pengalaman apalagi pernah menjadi kepala daerah.
Bambang juga menjelaskan, bahwa saat ini masyarakat Indonesia sudah sangat pragmatis. Jadi, ketika seseorang bergabung dalam sebuah partai dan tidak mendapatkan keuntungan, pasti ia akan memilih partai yang menguntungkan dan meninggalkan partai yang lama. “Jadi, intinya semakin partai itu berkonflik maka secara tidak langsung partai tersebut akan ditinggalkan oleh pendukung dan juga kader-kadernya,“ tutupnya. (ica)