Kondisi ketahanan pangan Indonesia ke depan harus diwaspadai. Hal ini dapat terlihat dari gejala yang menunjukkan adanya potensi gangguan ketahanan pangan yang merupakan dampak dari menipisnya persediaan air karena kenaikan suhu permukaan bumi.
Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, M.A Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam seminar nasional fikih ketahanan pangan Pimpinan Pusat Muhammadiyah bersama dengan Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) mengatakan bahwa hingga tahun 2023 bumi kita telah mengalami peningkatan suhu panas bumi 1,2 derajat Celcius dibandingkan dari masa-masa sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh perkembangan pesat perindustrian.
Ia mengatakan, kondisi suhu bumi yang terus meningkat akan menyebabkan kekeringan yang berdampak pada pertanian yang menjadi penyedia bahan pangan. Sehingga menurutnya, kondisi iklim bumi tidak terlalu optimis ke depan.
“Oleh karena itu, kajian yang diusung Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah bekerja sama dengan LPPI UMY menjadi sangat urgen dan relevan sekali,” ungkapnya di ruang sidang AR Fakhruddin A lantai 5 UMY, Sabtu (16/12). Hal tersebut menurut Syamsul dilakukan guna berkontribusi dalam memecahkan salah satu dari problem umat manusia, dalam hal ini untuk mempertahankan keberlangsungan dari kondisi pangan Indonesia sesuai dengan tuntunan dan aspek-aspek keagamaan.
“Menjadi sangat penting bagaimana kita dapat menggali kearifan religius yang dituangkan di dalam kitab suci Al-Quran dan sunnah Nabi Muhammad SAW dan menjadikan keduanya sebagai motivasi yang memberikan arah bagi tingkah laku masyarakat dalam melindungi bumi kita,” terangnya.
Syamsul juga mengungkapkan Laporan keadaan ketahanan pangan dan gizi di dunia tahun 2021 dari PBB yang menegaskan bahwa proyeksi ketahanan pangan saat ini menunjukkan, bahwa dunia belum berada pada jalur yang tepat untuk mencapai tujuan kedua dari pembangunan berkelanjutan, yaitu tanpa kelaparan pada tahun 2030. Menurut laporan tersebut, meskipun terdapat beberapa kemajuan, namun sebagian besar indikator juga belum berada pada jalur yang tepat untuk memenuhi target nutrisi global.
“Status ketahanan pangan dan gizi kelompok masyarakat yang paling rentan kemungkinan akan semakin memburuk akibat dari pandemi covid 19 yang lalu,” tuturnya.
Sedangkan di Indonesia, data statistik ketahanan pangannya menunjukkan bahwa berbagai daerah memiliki tingkat ketahanan pangan yang beragam.
“Ada daerah yang memiliki tingkat ketahanan pangan yang sangat baik, tetapi ada pula yang memiliki tingkat ketahanan pangan yang rawan,” ungkap Syamsul.
Dari keseluruhan kabupaten/kota di Indonesia yang berjumlah 514 (416 Kabupaten, 98 kota), sebanyak 74 kabupaten/kota, yaitu 70 Kabupaten dan 4 kota atau 16,4% memiliki indeks ketahanan pangan atau IKP yang rendah pada Tahun 2022. Dua Kabupaten terendah skor IKPnya yang pertama adalah kabupaten Nduga di provinsi Papua pegunungan dengan IKP 15,66. Kedua, Kabupaten Intan Jaya di Provinsi Papua Tengah dengan skor IKP-17,21. Sedangkan Kabupaten paling tinggi skor IKPnya adalah Kabupaten Tabanan di provinsi Bali dengan skor IKP 92,20 dan berikutnya adalah kabupaten Bandung di Jawa Barat dengan skor IKP 91,29.
Kemudian kota yang juga dengan skor IKP terendah adalah kota Subulussalam di provinsi Aceh yang memilih skor IKP 23,93. berikutnya adalah kota Gunungsitoli di Provinsi Sumatera Utara dengan skor IKP 43,7.
“sebaliknya kota yang memiliki skor IKP tertinggi pada Tahun 2022 adalah Denpasar yang memiliki skor 91,82 dan kota Balikpapan di Kalimantan Timur 89,47,” pungkas Syamsul (mut)