Dalam pemikiran Muhammadiyah, terdapat empat aspek penting dalam kehidupan setiap muslim, yakni aspek Aqidah, aspek Ibadah, aspek Akhlaq dan aspek Muamalah duniawi. Politik sendiri dikategorikan masuk dalam bagian dari muamalah duniawi. Hal ini dikarenakan menurut Muhammadiyah, politik merupakan bagian dari muamalah duniawi. Politik sendiri sama halnya dengan aspek ekonomi, aspek sosial serta aspek budaya. Inilah yang disampaikan oleh ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Dr. H. Haedar Nashir, M.Si saat mengisi acara pengajian Ramadhan 1439 H bagi pimpinan, dosen dan pejabat struktural UMY, yang berlangsung di lantai dasar masjid KH Ahmad Dahlan UMY pada hari Rabu (30/5).
Pengajian yang rutin dilaksanakan saat bulan Ramadhan kali ini mengambil tema “Aktualisasi nilai-nilai dan Spiritualitas Muhammadiyah dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara”. Kembali Dr. Haedar Nashir menyampaikan bila berbicara mengenai Ekonomi, Sosial, Budaya dan Politik, menurut Muhammadiyah itu merupakan muamalah duniawi. “Wilayah duniawiyah itu wilayah yang tidak simpel, karena hal tersebut dekat dengan kita. Seperti misalnya makan, minum dan kebutuhan biologis yang sangat material,” jelasnya.
Prinsip muamalah itu semuannya boleh, kecuali yang dilarang. “Permasalahnnya, siapa yang melarang? Sebagai contoh, Islam bedanya dengan kaum sekuler. Dunia yang ada itu tidak boleh dilepas begitu saja, harus diberi sebuah pondasi, bahkan harus dikonstruksi dengan nilai-nilai dasar dan prinsip-prinsip Islam. Dengan hal tersebut, maka lahirlah konsep etnik politik, etnik ekonomi Islam dan lain sebagainya. Sebenarnya dalam muamalah, dengan orang non-Islam kita boleh bermuamalah, kecuali yang tidak boleh dilakukan. Tinggal tidak bolehnya jangan terus ditambah list tidak bolehnya, malah bolehnya jadi sedikit,” paparnya.
Kembali dilanjutkan Haedar, berbicara mengenai etika politik Islam sendiri secara bahasa agama merupakan akhlak. “Kemudian akhlak sendiri secara umum memang nantinya akan berbicara mengenai benar salah, pantas tidak pantas maupun baik buruk serta mengenai apa yang akan kita lakukan. Namun dalam hal ini, dalam konteks politik Islam sekalipun sering tergantung dari prespektif orang tersebut. Banyak sekali keragaman mengenai cara pandang dalam Islam. Tidak hanya politik, namun juga cara pandang mengenai Islam, banyak sekali prespektifnya,” terangnya.
Sementara jika berbicara mengenai re-aktualisasi nilai, maka menurut Haedar, yang ada adalah mencoba kembali menerapkan etika politik. Bukan berbicara salah, benar, hitam, putih namun berbicara sepatutnya. “Bisa reaktualisasi, bisa menerapkan kembali hal yang sepatutnya dari nilai dasar kemuhammadiyahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” ujarnya. Islam sendiri dalam kandungan ajarannya, tidak secara langsung bicara mengenai politik dalam sesuatu yang detail. Banyak ayat alquran yang menjelaskan politik secara eksplisit, dari dasar kepemimpinan, perundingan dan masih bayak yang lainnya. (Darel)