Kisah mengenai kehidupan masyarakat di lereng gunung Merapi pasca erupsi tahun 2010 lalu mengantarkan mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi UMY (IK UMY) menjadi salah satu finalis dari Kompetisi Film Dokumenter Eagle Awards yang diadakan oleh salah satu stasiun TV swasta Nasional. Film yang berjudul ‘Mimpi di kandang Wedhus Gembel’ menceritakan tentang ketangguhan masyarakat desa Balerante salah satu desa didaerah Klaten ketika erupsi Merapi tahun 2010.
Hal ini Disampaikan oleh Gilang Akbar mahasiswa IK UMY yang masuk sebagai finalis Eagle Awards saat ditemui di Kampus Terpadu UMY, Senin (08/10). Tema yang diangkat dalam kompetisi film dokumenter ini yaitu “Indonesia Tangguh” untuk itu Gilang bersama rekan satu timnya Maharani yang juga mahasiswi IK UMY mengangkat cerita tentang kehidupan masyarakat desa Balerante yang ingin menunjukan ketangguhan masyarakat Balerante yang berada di kawasan rawan bencana.
Menurut Gilang ide untuk membuat film ini dimulai dari adanya rekomendasi pemerintah untuk merelokasi masyarakat desa Balerante yang berada di radius 5 km dari pucak Merapi. Namun, perintah relokasi tersebut ternyata tidak sesuai dengan harapan masyarakat setempat. “Permasalahan yang kami angkat dalam film ini mengenai pemerintah yang hanya menginginkan masyarakat desa Balerante mengosongkan tempat tinggal mereka tanpa memperhatikan kehidupan masyarakat setempat seperti kebudayaan dan kearifan lokal yang telah lama ada” ujarnya.
Dalam film dokumenter ini Gilang menceritakan keinginan besar masyarakat Balerante yang tidak ingin meninggalkan tempat tinggal mereka. Mereka sadar bahwa mereka berada di kawasan rawan bencana, namun mereka juga memiliki cara-cara untuk menanggulangi bencana tersebut tanpa meninggalkan tanah kelahiran mereka. “Film ini memperlihatkan seperti apa cara-cara masyarakat Balerante dalam mengantisipasi bahaya dengan menggunakan potensi-potensi lokal yang mereka miliki seperti mendirikan Radio Komunitas Balerante. Radio tersebut merupakan pusat informasi tentang aktifitas Merapi dan juga aktifitas masyarakat di sekitar Barelante” jelasnya.
“Selain Radio Komunitas Balerante, mereka juga menciptakan Batik Merapi Balerante yang dapat dijual karena batik ini unik dengan motif kisah yang mereka alami ketika erupsi Merapi. Terakhir, mereka mendirikan museum Erupsi Merapi yang menyimpan barang-barang bekas erupsi Merapi tahun 2010” tambahnya.
Film berdurasi sekitar 20 menit ini telah ditayangkan di beberapa Bioskop di Indonesia termasuk di Yogyakarta pada pertengahan September lalu. Film ini nantinya akan diputar kembali di Malam Penghargaan pada tanggal 19 Oktober.
Dalam kompetisi ini Gilang dan Maharani akan bersaing dengan finalis lainnya dan akan memperebutkan tiga kategori yang ada yaitu Kategori Film Terbaik, Film Rekomendsi Juri, dan juga Film Terfavorit. Gilang dan Maharani berharap dalam meraih minimal satu kategori dalam kompetisi ini. (Ibda/Sakti)