Berita

Konflik dan Kepentingan Elite Politik Konflik dan Kepentingan Elite Politik

Copy of IMG_0080Berbicara masalah konflik di suatu wilayah akan sangat menarik, karena dalam konflik wilayah terdapat banyak aktor yang berperan. Bahkan konflik itu sengaja diciptakan demi memperjuangkan kepentingan sebagian kelompok saja. “Konflik seperti ini sangat sulit untuk bisa diselesaikan jika sudah melibatkan kepentingan politik didalamnya, karena konflik seperti ini akan menimbulkan keuntungan baik dari segi ekonomi maupun politik itu sendiri,”

Demikian disampaikan oleh Dr. Surwandono, S.Sos., M.Si., dalam acara Launching buku berjudul “Manajemen Konflik Separatisme: Dinamika Negosiasi dalam Penyelesaian Konflik Mindanao” pada Selasa (26/02) di Kampus Terpadu Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Buku ini merupakan buku keempat yang diterbitkan oleh Jusuf Kalla School of Government (JKSG) UMY.

Buku ini, imbuh dosen HI UMY yang terlibat langsung dalam proses perdamian di Mindanao, akan menambah kajian tentang konflik Mindanao dari prespektif yang berbeda. Selain itu diceritakan pula pengalaman muthakir karena penelitian dilakukan secara langsung di tempat konflik. “Di sisi lain buku ini juga membuka wawasan bahwa konflik itu adalah sesuatu yang nyata ,” imbuhnya.

Seperti yang dijelaskan oleh Surwandono bahwa konflik yang terjadi telah melibatkan kepentingan para elite politik dikarenakan beberapa faktor seperti kepentingan elite yang takut tidak akan mendapatkan kekuasaannya apabila konflik tersebut selesai. “Salah satu konflik yang dibahas dalam buku ini adalah konflik yang terjadi di Mindanao, Filipina Selatan. Orang tahu bahwa konflik ini disebabkan oleh agama. Konflik ini terjadi sejak zaman kolonialisme Spanyol dan tidak mudah untuk mencapai sebuah kata perdamaian,” jelasnya.

Penulis yang merupakan Dosen Jurusan Hubungan Internasional UMY ini juga memaparkan bahwa perdamaian sulit dicapai karena negosiasi yang dilakukan tidak sesuai. “Konflik yang sudah lama berkembang tidak akan mudah untuk menemui titik damai. Negosiasi dilakukan hanyalah sebuah kamuflase perdamaian saja. Negosiasi dijadikan sebuah rekreasi politik saja oleh para elite yang jenuh dengan konflik tersebut tanpa berniat untuk menyelesaikannya,” paparnya.

Jika berbicara tentang negosiasi, lanjut Surwandono selain hanya sebuah rekreasi politik bisa jadi negosiasi tersebut tidak akan berbicara sebuah kebenaran. “Proses negosiasi yang sejatinya merupakan jalan tertinggi dalam mencapai perdamaian hanya akan berisi kebohongan antara pihak yang berkonflik dan bisa jadi adanya jebakan-jebakan yang telah dipersiapkan sebelumnya,” lanjutnya. (Orien)

Copy of IMG_0080Berbicara masalah konflik di suatu wilayah akan sangat menarik, karena dalam konflik wilayah terdapat banyak aktor yang berperan. Bahkan konflik itu sengaja diciptakan demi memperjuangkan kepentingan sebagian kelompok saja. “Konflik seperti ini sangat sulit untuk bisa diselesaikan jika sudah melibatkan kepentingan politik didalamnya, karena konflik seperti ini akan menimbulkan keuntungan baik dari segi ekonomi maupun politik itu sendiri,”

Demikian disampaikan oleh Dr. Surwandono, S.Sos., M.Si., dalam acara Launching buku berjudul “Manajemen Konflik Separatisme: Dinamika Negosiasi dalam Penyelesaian Konflik Mindanao” pada Selasa (26/02) di Kampus Terpadu Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Buku ini merupakan buku keempat yang diterbitkan oleh Jusuf Kalla School of Government (JKSG) UMY.

Buku ini, imbuh dosen HI UMY yang terlibat langsung dalam proses perdamian di Mindanao, akan menambah kajian tentang konflik Mindanao dari prespektif yang berbeda. Selain itu diceritakan pula pengalaman muthakir karena penelitian dilakukan secara langsung di tempat konflik. “Di sisi lain buku ini juga membuka wawasan bahwa konflik itu adalah sesuatu yang nyata ,” imbuhnya.

Seperti yang dijelaskan oleh Surwandono bahwa konflik yang terjadi telah melibatkan kepentingan para elite politik  dikarenakan beberapa faktor seperti kepentingan elite yang takut tidak akan mendapatkan kekuasaannya apabila konflik tersebut selesai. “Salah satu konflik yang dibahas dalam buku ini adalah konflik yang terjadi di Mindanao, Filipina Selatan. Orang tahu bahwa konflik ini disebabkan oleh agama. Konflik ini terjadi sejak zaman kolonialisme Spanyol dan tidak mudah untuk mencapai sebuah kata perdamaian,” jelasnya.

Penulis yang merupakan Dosen Jurusan Hubungan Internasional UMY ini juga memaparkan bahwa perdamaian sulit dicapai karena negosiasi yang dilakukan tidak sesuai. “Konflik yang sudah lama berkembang tidak akan mudah untuk menemui titik damai. Negosiasi dilakukan hanyalah sebuah kamuflase perdamaian saja. Negosiasi dijadikan sebuah rekreasi politik saja oleh para elite yang jenuh dengan konflik tersebut tanpa berniat untuk menyelesaikannya,” paparnya.

Jika berbicara tentang negosiasi, lanjut Surwandono selain hanya sebuah rekreasi politik bisa jadi negosiasi tersebut tidak akan berbicara sebuah kebenaran. “Proses negosiasi yang sejatinya merupakan jalan tertinggi dalam mencapai perdamaian hanya akan berisi kebohongan antara pihak yang berkonflik dan bisa jadi adanya jebakan-jebakan yang telah dipersiapkan sebelumnya,” lanjutnya. (Orien)