Berbagai macam konflik kekerasan terjadi di Indonesia akibat kepentingan sejumlah golongan yang bersifat membahayakan kemanusiaan. Padahal, permasalahan yang tadinya menjadi pemicu pun tidak juga terselesaikan. Kondisi seperti ini dinilai terjadi karena masyarakat Indonesia cenderung melihat konflik dari pendekatan negatif. Seharusnya masyarakat melihat konflik merupakan hal positif sebagai bagian dari kehidupan.
Demikian disampaikan Dr. Zuly Qodir, Dosen Program Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY)saat mengisi Diskusi Publik bertajuk “Mengurai Konflik Menuju Damai, Upaya Meraih Perdamaian yang Hakiki” yang diadakan Kementrian Dalam Negeri Republik Indonesia (Kemendagri RI) bekerjasama dengan Lembaga Human Institute, Himpunan Mahasiswa Islam Tunas Bangsa (HMI TB) UMY, dan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (BEM FISIPOL) UMY, Rabu (30/11) di Ruang Sidang Fakultas Hukum Kampus Terpadu UMY.
Menurut Zuly, kebanyakan masyarakat terlanjur melihat perbedaan kepentingan dari kacamata negatif. Masyarakat menilai perbedaan kepentingan merupakan suatu hal yang membayakan sehinnga dapat berujung destruktif bagi mereka. Sehingga cara yang ditempuh mereka adalah dengan menghilangkan kepentingan yang bertentangan dengan kepentingan mereka tersebut. Akibatnya, perbedaan kepentingan selalu berujung pertikaian.
Zuly menjelaskan, seharusnya masyarakat memandang positif konflik sebagai hal yang wajar. Setiap orang memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Apalagi Indonesia terkenal dengan keragaman latar belakang budaya sehingga rawan timbul konflik kepentingan. “Konflik itu lumrah, bagian dari kehidupan, sekarang tinggal bagaimana melakukan manajemen konflik. Ada upaya negosiasi, dialog sehingga terjadi kesepakatan di antara pihak-pihak terkait suatu konflik.”
Sementara Staff Badan Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat (Kesbanglinmas) Provinsi DIY, Rusdiyanto menilai upaya manajemen konflik ini tidak dapat berhasil jika hanya menitikberatkan pada upaya pemerintah. Pemerintah perlu bantuan masyarakat dan para tokohnya serta para stakeholder dalam upaya identifikasi masalah yang terjadi dalam sebuah konflik. “Sehingga pemerintah sebagai regulator, fasilitator dan advokator dapat menentukan kebijakan yang solutif bagi seluruh pihak”, jelasnya.
Rusdiyanto juga melihat tindakan preventif yang dapat dilakukan yaitu penciptaan upaya pembauran dan asimilias kehidupan sosial masyarakat yang berbeda suku, agama, ras dan golongan, serta kehadiran kelompok penyeimbang. Seluruh pihak secara bersama dapat berupaya menghindari polarisasi atau pengelompokan masyarkat yang mengangkat sentimen potensi perbedaan secara sempit dan radikal. “Dengan pembauran, masyarakat akan mengenal adat satu sama lain sehingga terjadi toleransi, bukan justru mengelompokkan mereka di tempat berbeda” terangnya.
Selain kedua pembicara tersebut, diskusi ini juga menghadirkan Drs. Muhammad Azhar, MA , Dosen Fakultas Agama Islam UMY yang menilai bangsa Indonesia terlanjur memiliki psikologi sebgai masyarakat tertindas sehingga melihat segala hal dari keburukannya. Sehingga perlu meningkatkan optimisme masyarakat dengan keteladanan pemerintah dan para tokoh masyarakat.