Berita

Konsep Islam tawarkan sistem keadilan dan kelayakan bermartabat dalam sediakan upah pekerja

Upah sebagai sumber penghasilan masih saja menjadi isu perburuhan yang terus diperdebatkan oleh Serikat Buruh setiap tanggal 1 Mei. Meskipun persoalan pengupahan telah diserahkan kepada daerah, problematika ketenagakerjaan atau perburuhan sepanjang masa belum juga selesai.

Seringkali, sistem ekonomi memandang pekerja sebagai faktor produksi yang hanya menjadikan mereka sebagai alat produksi, efisiensi, dan penarik investasi. Oleh karenanya, dalam revisi undang-undang dan regulasi tenaga kerja, pekerja sebagai karyawan harus mendapatkan penghasilan yang layak sesuai dengan apa yang dilakukannya.

Demikian disampaikan Dosen Fakultas Agama Islam – Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (FAI-UMY), Prof. Dr. Muhammad, dalam Diskusi Fiqh Financial yang diselenggarakan Program Pasca Sarjana UMY, di Kampus Terpadu UMY, Sabtu (22/1).

Menurutnya, Upah yang menjadi sumber penghasilan para buruh tersebut sangat berguna untuk memenuhi kebutuhan pekerja dan keluarganya serta cermin kepuasan kerja. Namun bagi pengusaha, upah merupakan bagian dari biaya produksi sehingga harus dioptimalkan penggunaannya dalam meningkatkan produktivitas dan etos kerja.

Problematika ketenagakerjaan atau perburuhan seperti masalah perlindungan, perselisihan hubungan industrial, pembinaan hingga pengupahan masih belum tuntas yang diakibatkan kelemahan pemerintah secara sistemik dalam menerapkan undang-undang ketenagakerjaan, bahkan cenderung ada penyimpangan.

“Islam hadir untuk menawarkan sistem sosial yang adil dan bermartabat, yang salah satu sistem yang ditawarkan adalah sistem perpekerjaan, yang di dalamnnya mencakup diantaranya hubungan majikan-pekerja dan pengupahan,” lanjut Muhammad.

Ia menjelaskan jika Islam menempatkan majikan dan pekerja dalam kedudukan setara, keduanya saling membutuhkan satu sama lainnya. “Hubungan keduanya adalah kemitraan dalam bekerja, majikan adalah orang yang memiliki dana dan butuh kerja manusia, sementara    pekerja merupakan pemiliki tenaga yang memerlukan dana,”urai Muhammad.

Imbalan atau kompensasi Islam atas pekerjaan itulah, dipaparkan Muhammad, tidak hanya terkait erat dengan upah semata, namun juga moral, berdasarkan keadilan dan kelayakan.

Terkait dengan keadilan dan kelayakan, Dosen Fakultas Ekonomi UMY, Alni Rahmawati, MM., menuturkan jika kompensasi Islam juga memperhatikan prinsip keadilan yang bermakna jelas, transparan, dan proporsional.

“Keadilan ini harus dipaparkan dengan menyampaikan pekerjaan apa yang harus dilakukan karyawan, memberitahukan berapa gaji yang akan diterima karyawan tersebut serta mengatur tata cara pembayaran gaji. Kesemuanya tersebut harus disampaikan kepada karyawaan saat sebelum kontrak kerja dilakukan,” jelas Alni. Kelayakan juga menjadi hal lain yang harus diperhatikan dalam kompensasi Islam yang bisa mencukupi sandang, pangan, dan papan.

Untuk itu, Ia menegaskan jika sebuah perusahaan perlu merancang kompensasi yang ideal sehingga menjadikan karyawan nyaman bekerja yang nantinya berdampak positif bagi kinerja dan pencapaian hasil maksimal perusahaan.