Terorisme global saat ini hampir selalu dikaitkan dengan Islam. Setelah perang dingin antara Uni Soviet dan Amerika, Islam menjadi aktor antagonis pengganti komunis Uni Soviet. Terorisme di dunia saat ini tidak lain hanya sebagai projek hegemoni barat.
Hal itu seperti diungkapkan Ahmad Hanafi Rais, anggota DPR RI Komisi 1 yang hadir dalam Masa Taaruf (MATAF) program studi Ilmu Hubungan Internasional UMY 2016 di Sportorium UMY Kamis, (8/9) pagi. Selain menghadirkan Hanafi Rais, MATAF HI UMY kali ini juga menghadirkan Eko Hartono, Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kementerian Luar Negeri RI. Di depan mahasiswa baru HI UMY, mereka berdiskusi dalam talkshow bertajuk “How The World See Islam as Global Terrorism”.
Islam sebagai aktor antagonis baru yang melawan Amerika Serikat memang selalu dicitrakan negatif. “Saat kita bicara terorisme, kita juga bicara ISIS, Al Qaeda dan gerakan yang lainnya. Padahal Amerika Serikat sendiri yang membuatnya. Faktanya Al Qaeda adalah tentara yang dibuat AS di Afghanistan untuk memerangi orang Afganistan namun mereka justru melawan AS. Hal ini juga yang terjadi pada ISIS, bahwa AS juga menyiapkan mereka untuk melawan Suriah,” jelas Hanafi Rais.
Menurutnya, Terorisme memang sengaja dikaitkan dengan Islam. Pasalnya Amerika Serikat melihat Islam sebagai aktor antagonis yang perlu diperangi. Selain itu, terorisme yang terjadi sekarang adalah bentuk ketidakpuasan dengan globalisasi. “Ada ketidakpuasan dengan proses globalisasi karena faktanya globalisasi tidak memberikan banyak pilihan. Semuanya serba sama di mata globalisasi. Jadi terorisme yang terjadi sekarang adalah orang-orang yang tidak puas dengan globalisasi,”tambahnya.
Dia menambahkan bahwa Terorisme sekarang ini juga telah menjadi industri. “Saya melihat terorisme sekarang ini juga telah menjadi industri. Artinya semakin dibesarkan, makin banyak uang yang dihasilkan. Contohnya kasus Santoso yang baru ditangkap setelah berpuluh-puluh tahun. Kelompoknya hanya berjumlah 15 orang dan berada di pegunungan. Sementara personel Polisi dan tentara kita mencapai ratusan ribu. Saya curiga kasus ini dibiarkan dan membentuk industri yang menguntungkan segelintir pihak,” tambah putra Amien Rais ini.
Sementara itu Eko Hartono, Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kementerian Luar Negeri dalam pemaparannya menyatakan Terorisme saat ini menyerang pemuda melalui internet dan media sosial. “Kedekatan media sosial dan generasi muda membuat para pemuda menjadi sasaran rekrutmen aksi terorime. Internet menjadi cara ISIS dan kelompok radikal lainnya untuk menyebarkan pengaruhnya. Selain itu, studi yang dilakukan Setara Institue menunjukkan Intoleransi semakin tumbuh subur di kalangan anak muda Indonesia. Sebanyak 38,4 % siswa SMU di Jakarta dan Bandung menunjukkan intoleransi tinggi, dengan 2,4 % menganut paham radikal, serta 0,3% mudah melakukan terror,” paparnya.
Saat ini pemerintah Indonesia telah melakukan strategi penanggulangan terorisme. Ada dua pendekatan yaitu melalui hard approach dan soft approach. Hard approach diatur dalam penegakan UU No. 15 tahun 2003 dan UU no. 9 tahun 2013. Sementara itu soft approach dilakukan diantaranya dengan upaya deteksi, pencegahan, rehabilitasi dan memperketat pengelolaan lembaga pemasyarakatan.
Dia menambahkan Diplomasi Indonesia dalam Penanganan Terorisme menggunakan diplomasi soft power. Dimana diplomasi tersebut ingin menyampaikan nilai-nilai. “ Dengan umat muslim terbanyak di seluruh dunia, saat ini Indonesia tidak diuntungkan dengan isu terorisme. Oleh karena itu, kami ingin menyampaikan nilai nilai islam dalam penanganan terrorisme ini. Islam di Indonesia adalah Islam moderat, tenggang rasa, harmonis, dan rahmatan lil alamin. Islam dan demokrasi mampu hidup dan tumbuh bersama,”tambahnya.
Dalam penutupnya, Eko menyatakan Diplomasi Publik mengenai citra Indonesia sebagai Negara muslim moderat dibangun tidak hanya melalui inter-faith dialogue (dialog antar agama), namun juga intra-faith dialogue (dialog antar sesama pemeluk agama dalam agama yang sama). ”Intra faith dialogue akan memperkuat pemahaman yang tepat atas agama dan membangun rasa saling hormat antar kelompok dalam agama tersebut. Selain itu, untuk menyuarakan Islam sebagai agama yang cinta damai dan terpisah dari tindak terorisme, diperlukan kesatuan antar umat islam mengenai perlunya toleransi antar umat beragama,”tutupnya. (bagas)