Berita

Kontroversi Evakuasi Warga Gaza oleh Presiden Prabowo: Ingin Mengambil Hati Trump Imbas Kebijakan Tarif?

pakar UMY - evakuasi warga gaza

Presiden Prabowo Subianto mengusulkan rencana untuk melakukan evakuasi seribu warga Gaza ke Indonesia, yang telah memicu berbagai reaksi di kalangan masyarakat dan pengamat politik. Dalam kunjungan ke beberapa negara Timur Tengah, Prabowo menyatakan bahwa evakuasi ini akan dilakukan dengan persetujuan dari pihak-pihak terkait dan bertujuan untuk memberikan bantuan kemanusiaan kepada korban konflik di Gaza, terutama anak-anak yatim piatu dan mereka yang terluka.

Namun, rencana evakuasi warga Gaza ini tidak lepas dari kontroversi. Dr. Ratih Herningtyas, M.A, dosen Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), juga mengkritik wacana evakuasi ini. Menurutnya, tindakan pemerintah ini seperti ‘amnesia’ terhadap esensi dari konflik kedua belah pihak.

“Kita harus merunut, sebenarnya konflik di Gaza ada root cause-nya. Tindakan apapun yang dilakukan oleh Indonesia harus mempertimbangkan pada pemahaman tentang apa yang membuat konflik itu terjadi, yakni agresi militer oleh suatu negara (Israel) ke negara lain yang punya hak berdaulat (Palestina). Kalau ada keinginan oleh seorang pemimpin untuk mengevakuasi korban, berarti pemimpin tersebut tidak memahami esensi dari konflik,” kata Ratih, saat dihubungi melalui WhatsApp pada Senin (14/4).

Langkah dari wacana kebijakan ini berpotensi mempercepat tujuan Israel dalam menguasai wilayah Palestina. Ratih menjelaskan bahwa konflik di Gaza berkaitan erat dengan masalah kedaulatan, dan evakuasi warga dapat mengakibatkan hilangnya populasi di wilayah yang sudah terjajah. Ia juga menegaskan pentingnya mempertimbangkan implikasi jangka panjang dari rencana ini. Jika seribu warga Gaza dievakuasi, akan ada risiko bahwa mereka tidak dapat kembali ke tanah air mereka ketika situasi telah membaik.

“Harus dipertanyakan bahwa apakah Indonesia tidak mempertimbangkan konsekuensi dari tindakan yang diambil? Apakah pemerintah Indonesia dapat menjamin bahwa setelah dievakuasi nanti, warga Gaza dapat dikembalikan ke tempat asalnya? Biasanya, orang Palestina yang sudah keluar, akan sulit lagi untuk masuk,” lanjutnya.

Dianggap ingin “mengambil hati” Trump

Kaitan antara wacana evakuasi dengan kebijakan tarif yang diluncurkan oleh Trump kepada berbagai negara mitranya termasuk Indonesia, menurut Ratih juga sangatlah kuat. Ini tidak lepas dari pemberlakuan tarif perdagangan ke Indonesia oleh AS sebesar 32%. Maka dari itu, Presiden Prabowo dianggap ingin ‘mengambil hati’ Trump yang juga memiliki niat yang sama, yakni merelokasi warga Gaza ke beberapa negara.

“Di satu sisi, ini jelas bertolak belakang dengan konstitusi kita, kita seakan membantu proses ethnic cleansing itu benar-benar terjadi. Momentum ini bisa dijadikan oleh AS maupun Israel sebagai contoh kasus yang kemudian dipromosikan ke negara lain, bahwa “Ini loh, Indonesia aja mau loh”. Jangan sampai Indonesia menjadi contoh bagi negara lain untuk ditekan/dipromosikan untuk melakukan hal yang sama,” kata Ratih.

Wacana Presiden Prabowo ini seakan memberikan sinyal bahwa ini adalah bentuk ‘kompensasi’ (evakuasi warga Gaza) yang dapat Ia berikan agar tarif yang diberlakukan untuk Indonesia dapat segera diturunkan. Ratih menduga bahwa ini sebagai upaya untuk mengambil hati Trump supaya kebijakan tarif dari Trump ke Indonesia bisa lebih smooth atau menguntungkan Indonesia. Sehari setelah itu, ternyata terbukti penundaan pengenaan tarif sampai 90 hari, termasuk Indonesia yang tarifnya dikembalikan ke 10%, tidak lagi 32%.

“Ini merupakan respon yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia, imbas dari pengenaan tarif tinggi oleh AS. Dan ini dianggap membantu proses negosiasi agar tarif dapat dikembalikan ke 10%,” ungkapnya.

Pakar politik luar negeri AS tersebut juga menganggap bahwa Indonesia seakan memvalidasi dan mencerminkan apa yang dikatakan Trump itu sebagai “sebagian negara ingin mencium bokong saya”.

“Gak masuk akal dengan situasi politik kita yang selama ini selalu berada di paling depan untuk menolak penjajahan Israel di Palestina,” ucapnya.

Kembali pada koridor diplomasi

Di aspek yang lain, Trump mengeluarkan kebijakan yang kontroversial ini seperti bagian dari strategi aggressive behaviour, memberi ancaman dengan batasan waktu. Ratih menganggap bahwa tindakan oleh Trump ini, seperti tindakan testing the water, ingin menguji siapa yang sebenarnya lawan dan siapa yang sebenarnya kawan yang masih dapat dikontrol olehnya.

Ratih menyarankan bahwa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah terlibat dalam proses kepastian pada penghentian penyerangan oleh Israel, tidak perlu melakukan evakuasi yang dampak buruknya mungkin akan lebih besar.

“Daripada mengevakuasi seribu yang notabenenya masih berapa persen dari total populasinya, mengapa tidak memilih bentuk penyelesaian dari aspek penghentian tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Israel? sambil memastikan bahwa semua orang di sana mendapatkan akses pada kebutuhan dasarnya,” lanjut Ratih.

Ia juga menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk kembali pada koridor diplomasi sesuai dengan apa yang diserukan di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar.

“Prioritas sekarang adalah ikut memperjuangkan dengan cara menyerukan penghentian aksi militer di sana, gencatan senjata harus dicapai, Gaza adalah wilayah yang berisi manusia yang punya hak untuk hidup. Lebih baik kembali kepada koridor diplomasi yang sebelumnya telah dilakukan oleh Bu Retno sebelumnya, segera menegosiasikan untuk membuka akses bantuan kemanusiaan yang masuk ke Gaza,” seru Ratih. (FU)