Berita

Kurs Rupiah Merosot, Bukan Hal Wajar

IMG_7622

Merosotnya nilai tukar rupiah terhadap US dollar tidak bisa dianggap sebagai hal yang wajar. Kemerosotan kurs rupiah ini pun bukan karena kesalahan pada situasi global dan merosotnya mitra utama ekonomi Indonesia yakni Tiongkok, yang mengganggu ekspor Indonesia ke sana. Sikap seperti ini sebenarnya bisa menimbulkan misleeding, seolah persoalan semua ada di luar yang menjadi penyebabnya. Padahal, banyak hal dalam manajemen ekonomi Indonesia yang perlu diperbaiki dan tidak bisa hanya asal berjalan saja.

Demikian disampaikan Prof. Dr. Edy Suandi Hamid ketua Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI Yogyakarta), saat menjadi salah satu pembicara dalam Panel Forum UMY-ISEI “Kurs Rupiah Merosot: Ancaman atau Peluang”. Kegiatan ini diselenggarakan atas kerjasama Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) dengan ISEI dan diselenggarakan di lantai 4 gedung Pascasarjana UMY, Jum’at sore (3/7). Pembicara lain yang juga turut hadir dalam acara ini yakni, Arief Budi Santoso, SE (Kepala Cabang Bank Indonesia Yogyakarta), Soeharto (Pengusaha Muda Yogyakarta), dan Dimas Bagus Wiranata Kusuma (Dosen Ilmu Ekonomi UMY).

Dalam pemaparannya, Prof. Edy mengatakan jika semua pihak harus ikut terlibat untuk mengatasi kemerosotan kurs rupiah ini, baik itu Otoritas Moneter atau Bank Indonesia, pemerintah secara keseluruhan, Otoritas Jasa Keuangan, dan para pelaku ekonomi. “Kita jangan hanya mengarahkan kesalahan pada situasi global dan mitra ekonomi kita. Tapi kita juga perlu memperhatikan bagaimana penanganan sektor riel kita? Bagaimana infrastruktur transportasi kita? Kebijakan harga berbagai komoditas, birokrasi perizinan, stimulus kebijakan di pertanian, industri, maritim dan sebagainya. Bagaimana menangani praktik KKN yang terjadi dan bagaiman koordinasi antar unit-unit yang ada di birokrasi? Otoritas moneter tentu juga ikut bertanggung jawab untuk menghadapi situasi yang tidak biasa ini. Para pengambil kebijakan memang diuji dan akan terlihat kualitasnya manakala bisa mengelola krisis ini dengan baik, dan bisa memberikan solusi atas persoalan yang tidak biasa kita hadapi ini,” paparnya.

Prof. Edy mengatakan persoalan krisis rupiah ini tidak biasa sebab, melemahnya rupiah seharusnya membawa barokah pada ekspor Indonesia, yang secara teoritis bisa menjadi lebih berdaya saing. Karena eksportir pasti diuntungkan dengan kondisi tersebut. “Namun seberapa besar itu dinikmati banyak rakyat ini, dan juga perannya dalam struktur ekonomi kita, serta realitas yang ada? Ternyata ekspor tidak langsung melonjak signifikan, dan surplusnya neraca perdagangan di bulan-bulan terakhir ini bukan karena lompatan ekspor. Namun lebih karena lemahnya permintaan impor sejalan dengan lemahnya produksi,” tegasnya.

Hal senada pun disampaikan Soeharto, selaku pengusaha muda yang juga turut hadir menjadi pembicara dalam acara tersebut. Ia mengakui jika sebenarnya menguatnya US dollar terhadap rupiah itu menjadi peluang bagi pelaku bisnis, khususnya dalam hal mengekspor barang. “Karena kalau kurs dollar naik, harga barang juga akan ikut naik. Namun yang terjadi saat ini justru sebaliknya. Hampir semua pedagang saat ini mengalami penurunan. Ini karena kami sudah berusaha menstok barang dalam jumlah banyak, tapi ternyata sepi pembeli. Ini fenomena yang belum pernah terjadi sebelumnya,” ungkapnya.

Karena itu, ia berharap agar permasalahan ini bisa segera teratasi dan dicarikan solusinya bersama. Sebab menurutnya, jika kurs rupiah ini masih terus merosot dapat membahayakan para pelaku bisnis. Di samping karena pembeli akan cenderung menyimpang uangnya karena harga barang yang cukup tinggi, para pelaku bisnis tidak mendapatkan income, serta perekonomian pun tidak akan bisa berjalan. “Ini yang bahaya, kalau semua saling menjaga (saving money), perekonomian tidak akan berjalan. Akan stagnan,” ujarnya.