Komisi Yudisial muncul di Indonesia ketika adanya rasa ketidakpercayaan masyarakat kepada sistem pemerintah, sistem hukum, dan sistem peradilan yang ada di Indonesia. Masyarakat juga beranggapan bahwa sistem peradilan yang ada di Indonesia ini harus diawasi. Menurut UUD 1945 pasal 24B menyatakan bahwa KY ini merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluruhan martabat, serta perilaku hakim. “Artinya bahwa peran sentral KY adalah menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, “ terang Totok Winarto., S.H., M.H2 selaku Tenaga Ahli Komisi Yudisial RI saat menjadi pembicara dalam acara “Diskusi Terbatas: Majelis Kehormatan Hakim Dalam Bingkai Eksistensi Komisi Yudisial (Mencari Figur Ideal Penjaga Martabat Dan Kehormatan Hakim)” pada Senin (11/5) di Gedung AR Facrudin A Lt.5 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).
Totok melanjutkan bahwa kehadiran KY ini juga karena seringnya kekuasaan hakim yang disalahgunakan oleh para pemangku kekuasaannya. Untuk itu KY mewujudkan check and balances yang berfungsi untuk mengembalikkan wibawa kekuasaan kehakiman, untuk itu semua lembaga harus saling mengawasi satu sama lain. “Untuk melakukan itu semua Keberadaan Anggota Komisi Yudisial dengan Majelis Kehormatan Hakim (MKH) tidak bisa dipisahkan, karena jika keduanya dipisahkan maka KY bukan lagi menjadi lembaga peradilan. Tentunya hal ini akan memicu masyarakat yang kebanyakan dari mereka tidak puas dengan putusan hakim, untuk itu keduanya sangat diperlukan satu sama lain,“ lanjutnya.
MKH sendiri, menurut Totok, bertugas memeriksa dan memutuskan adanya dugaan pelanggaran Kode Etik atau Pedoman Perilaku Hakim. “Seperti yang kita ketahui bahwa hakim itu juga seorang manusia, jadi seorang hakim tentunya pernah tersandung sebuah kasus. Pentingnya MKH ini juga muncul karena adanya anggapan masyarakat yang mengganggap bahwa hakim ini merupakan titisan Tuhan dalam hal keadilan. MKH ini juga memberikan ruang kepada hakim ketika dijatuhi kesalahan untuk melalukan pembelaan terhadap kesalahan yang tidak mereka lakukan. Ditegaskan lagi bahwa KY itu akan menegakkan kehormatan dan tidak akan mencari kesalahan hakim, =“ terangnya.
Totok juga menjelaskan, dari tahun ke tahun, jumlah kasus yang dialami oleh hakim jumlahnya fluktuatif. Pada tahun 2009-2015 rata-rata perkara yang muncul yaitu penyuapan dan permainan perkara 50%, perselingkuhan 30%, indisipliner 5%, manipulasi putusan 2%, dan narkoba 5%. Kasus-kasus tersebut terjadi tertentunya dipengaruhi oleh kategori pelanggaran yang dilakukan oleh hakim dan perubahan perilaku hakim itu sendiri. “Jika dilihat dari kasus diatas jumlah persentase yang paling tinggi adalah terkait dengan kasus penyuapan. Namun pada tahun 2015 jumlah tersebut sudah menurun, tentu ini menjadi sebuah kebanggan. Tapi, tahun 2015 reputasi hakim di Indonesia kembali menurun terkait dengan adanya kasus narkoba yang hanya 2 orang saja yang terlibat. Hal ini pun dapat disimpulkan bahwa sedikitnya kasus narkoba, seperti kata pepatah nila setitik rusak sebelanga,“ paparnya.
Hal lain juga diungakapkan oleh Dr. Mukti Fajar, S.H . M.H2 yang mengungkapkan bahwa dari kasus di atas juga dipengaruhi oleh beberapa hal. Misalnya, ketika kesejahteraan hakim ditingkatkan maka kasus yang sering muncul adalah kasus narkoba dan perselingkuhan. Namun, ketika kesejahteraan hakim diturunkan dugaan atau kasus yang sering muncul adalah tentang penerimaan suap. “Hal inilah yang kemudian harus dicari jalan keluarnya, ide atau gagasan apa agar keduanya tidak dapat terjadi lagi, “ jelasnya.
Dari kasus-kasus yang kerap muncul tersebut, imbuh Mukti Fajar, misalnya terkait dengan perselingkuhan yang akhir-akhir ini sering terjadi itu semua merupakan hal yang manusiawi namun, tentu hal ini tetap harus diatasi agar nantinya tidak tersebar luaskan. “Saya menyarankan jika adanya kasus yang tidak terlalu besar sebaiknya jangan dipublikasikan terlebih dahulu sebelum kasus tersebut telah terbukti salah atau benar. Karena, jika sudah tersebar luas maka nantinya para pelaku akan dihakimi oleh masyarakat terutama oleh media tentunya hal ini akan menjadi sebuah tekanan yang berat bagi keluarga pelaku atau hakim yang melanggar kode etik tersebut, “ tutupnya.