Indonesia merupakan negara maritime yang di mana dua pertiganya adalah lautan. Namun, sayangnya potensi lautan yang sangat luas ini belum dimaksimalkan sebaik mungkin, ini dapat terlihat dari kurangnya perlindungan secara hukum terkait dengan kelautan yang ada di Indonesia. Padahal jika potensi kelautan Indonesia tersebut dapat dimaksimalkan sebaik mungkin dapat mengangkat perekonomian Indonesia, bahkan lebih dari itu Indonesia juga akan mendapatkan keuntungan yang bisa mencapai angka USD 800 Milyar pertahunnya.
Demikian dipaparkan Dr. Achmad Poernomo, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia saat menjadi Keynote Speech dalam acara Seminar Nasional “Peluang dan Tantangan Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA): Perspektif Hukum dan Perlindungan sumber Daya Laut” pada hari Sabtu (25/4) di Gedung AR. Fachrudin A Lt. 5 UMY. Acara ini diselenggarakan oleh Fakultas Hukum UMY dan Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana UMY, dalam rangka menyambut MEA 2015 dan sebagai rangkaian acara Milad UMY ke-34.
Dalam pemaparanya, Dr. Achmad mengatakan, menurut hasil penelitian yang telah dilakukannya, laut Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk perekonomian Indonesia. Hasil dari sumber daya laut pun akan memiliki manfaat yang sangat besar bagi bangsa dan rakyat Indonesia, jika bisa dimanfaatkan semaksimal dan sebaik mungkin. “Jika kita dapat memanfaatkan sumber daya laut sebaik mungkin maka, kita akan mendapatkan keuntungan sebesar USD 800M per/tahun. Keuntungan sebanyak itu tentu akan dapat membantu biaya APBN kita, dan kita tidak perlu hutang dengan negara lain, “ tegasnya.
Namun sayangnya, lanjut Achmad lagi, keamaanan laut dan masalah penangkapan ikan secara ilegal masih marak di Indonesia. Keamanan laut belum bisa sepenuhnya terlepas dari berbagai masalah, seperti pembajakan dan perampokan bersenjata di lautan, aksi teroris, instalansi lepas pantai, perdagangan secara illegal (alat senjata dan narkotika), penyelundupuna dan trafficking, penangkapan ikan secara illegal, dan perusakan lingkungan laut.
Pada isu IUU Fishing (penangkapan ikan secara ilegal) ini, menurut Achmad juga perlu adanya perhatian masyarakat terkait dengan pemanfaatan ikan. “Saat ini di Indonesia sudah banyak yang over fishing, artinya banyak ikan yang diambil secara illegal. Menurut laporan FAO 2014, 91,1% stok ikan di dunia sepenuhnya dieksploitasi. Dan masalah utama banyaknya hasil tangkapan ikan illegal dan tidak teratur ini terjadi di perairan Indonesia, yakni perairan Cina Selatan dan Sulawesi,” jelasnya.
Karena itu, Achmad menegaskan jika penegakkan hukum untuk kapal-kapal liar yang menangkap ikan secara illegal ini perlu ditegaskan lagi. Sebab menurut data sebagian besar kelautan kita ini sudah dijarah oleh kapal-kapal asing. “Seperti yang terjadi pada tahun lalu, kasus masuknya kapal Hai Fa (Tingkok) yang masuk perairan secara illegal bahkan untuk mengelabui kemanan di Indonesia saja mereka berganti bendera dan BBKB sebanyak 4 kali. Kedatangan mereka juga untuk mengambil 900 ton ikan, bahkan mereka sudah tujuh kali bolak-balik ke Cina, in menjadi angka yang fantastis, “ jelasnya.
Achmad juga menambahkan, sekalipun dengan pelanggaran yang banyak dilakukan, namun sayangnya saat di persidangan mereka hanya mendapatkan hukuman yang sangat kecil yaitu me,bayar denda 250 juta dan dipenjara selama 6 bulan. “Kemudian kita bandingkan dengan seorang nenek yang dituduh mencuri kayu dipenjara lebih lama dari ini. Coba kalian lihat, bahwa masih buruknya penegakkan hukum di Indonesia. Seharusnya penegakk hukum lebih tegas dan lebih peduli akan sumber daya laut, “ tegasnya.
Pasar dan Investasi
Sumber daya laut lain halnya pula dengan, pasar yang ada di Indonesia. Memasuki MEA tentu apasar menjadi sebuah target penting, karena hal ini berpengaruh pada sistem pasar di Indonesia. Memasuki MEA ini tentu kita akan berkelut dengan pasar bebas, di mana penjualan produk apapun bebas masuk ke Indonesia. “Saat ini jika melihat persiapan, Indonesia belum mampu melakkukan penetrasi pasar dengan baik. Salah satunya adalah mengubah kesukaan masyarakat akan produk-produk impor ke produk ekspor atau dalam negeri, “ jelas Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M,Ph.D, ahli Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI).
Juwana menjelaskan, bahwa bagi orang luar Indonesia, negara Indonesia ini menjadi sebuah sasaran empuk untuk menjualkan produk-produknya. “Ini membuktikan bahwa masyarakat Indonesia merupakan bangsa yang sangat komsumtif. Untuk itu perlunya adanya single market dalam menghadapi MEA, sebab jika tidak negara kita akan dikuasai dengan produk-produk asing, “ paparnya.
Masyarakat di Indonesia ini rata-rata tidak memahami betul apa keunggulan atau kelebihan yang ada di negaranya sendiri. “Hal ini terbukti dengan pada pelaksanaan Priority Integration Sector, Indonesia merupakan country coordinator pada sector automotive dan wood based, ini dapat disimpulkan bahwa kurangnya pemahaman masyarakat Indonesia akan kekayaan sumber daya laut yang dimilikinya, ” ungkapnya.
Juwana berharap, pelaksanaan MEA ini akan meningkatkan SDM dan juga lapangan pekerjaan. “Percuma kita sudah menyekolahkan anak bangsa kita sampai keluar negeri namun ketika mereka pulang, tidak mendapatkan lapangan pekerjaan yang memadai. Dalam pelaksanaan MEA ini kita harus lebih mendominasi serta dapat memanfaatkan sumber daya alam sebaik mungkin, ” tutupnya.