Masa remaja melibatkan suatu proses yang menjangkau periode penting dalam kehidupan seseorang, menghadirkan begitu banyak tantangan berupa perubahan-perubahan mulai dari perubahan fisik, biologis, psikologis dan sosial. Hal tersebut menuntut remaja agar mampu menghadapi dan mengatasi tantangan perubahan dengan berbagai konsekuensi psikologis, emosional, dan behavioral. Untuk menghadapi tantangan tersebut, lembaga pendidikan dan keluarga memiliki peran dalam mencegah perilaku menyimpang (delikuensi) remaja dalam prosesnya. Pernyataan itu disampaikan oleh Syarifan Nurjan, S.Ag.,M.A dalam disertasinya yang berjudul Kecenderungan Perilaku Delinkuensi Remaja Di Lembaga Pendidikan Islam Kabupaten Ponorogo.
Permasalahan umum remaja di sekolah adalah kurangnya disiplin siswa yang tercermin dari sering terlambatnya siswa masuk sekolah. Melanggar tata tertib sekolah seperti merokok di lingkungan atau di luar sekolah dan sering nongkrong di luar pagar sekolah sehingga terlambat masuk kelas. Kurangnya motivasi siswa untuk belajar yang dicerminkan dari jarangnya siswa membaca literatur, ketidakamanan siswa pada saat pulang dan pergi sekolah, dan kesulitan siswa untuk mendapatkan angkutan umum untuk berangkat dan pulang sekolah.
Ada beberapa alasan yang menyebabkan remaja melakukan delikuensi (penyimpangan/kenakalan) di lingkungan sekolah. Sebagaimana disebutkan Syarifan dalam disertasinya antara lain kepribadian yang belum matang (immature personality), keturunan (genetis), dan kondisi kehidupan keluarga yang tidak stabil. Namun dikatakan Syarifan Nurjan gejala-gejala kenakalan tersebut hampir sulit dijumpai pada lembaga pendidikan Islam, meski pada kenyataannya pesantren hanya berperan kecil untuk mengurangi perilaku delikuensi remaja di lingkungan sekolah.
“Lembaga pendidikan Islam dalam hal ini adalah pesantren, lembaga pendidikan di bawah organisasi Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama. Para remaja yang tinggal di lembaga pendidikan Islam termasuk pesantren lebih dapat memahami, menghayati, dan mengamalkan agama dengan baik. Tapi dalam kenyataannya kehidupan pesantren masih didapatkan pelanggaran santri seperti merokok, kencan atau pacaran, menginap di luar asrama, pencurian, dan membolos sekolah,” kata Syarifan dalam sidang disertasinya Sabtu, (15/9).
Berdasarkan hal tersebut, langkah yang harus dilakukan untuk mengatasi delikuensi adalah bagaimana memberikan perlakuan yang tepat sesuai dengan kebutuhan. Jalinan hubungan positif dengan lingkungan keluarga, sekolah, tetangga, taman sebaya, dan menguarangi bentuk-bentuk perilaku delikuensi. Syarifan mendapat rangkuman itu seusai melakukan peneltian di lembaga pendidikan Islam (sekolah Muhammadiyah, sekolah Ma’arif, Pesantren Program Internasional, dan Pesantren Program Nasional) yang ada di Kabupaten Ponorogo Provinsi Jawa timur.
Atas disertasinya ini Syarifan sukses menjadi doktor ke-48 yang diluluskan oleh program Pascasarjana Psikologi Pendidikan Islam UMY pada tanggal 15 September 2018 dengan predikat nilai yang sangat memuaskan. Sementara penguji disertasinya meliputi Sri Atmaja P. Rosyidi, M.Sc Eng., PhD., Dr. Aris Fauzan. M.A., Prof. Dr. H. Sutrisno. M.Ag, Prof. Drs. H. Sarbiran, M.ed, Ph.D., Prof. Dr. Anik Ghufron, M.Pd., Dr. Abd. Madjid, M.Ag., Dr. Muh. Samsuddi, M.Pd., dan Dr. H. Moh. Anies, MA. (Habibi)