Sebagai negara dengan mayoritas penduduknya sebagai Muslim, melakukan tinjauan status halal terhadap suatu produk sangat penting. Sebagai seorang muslim juga perlu selektif sebelum mengonsumsi produk. Jika produk tersebut semua unsurnya halal dan dalam proses produksinya tidak mengandung atau menggunakan media yang haram, maka hukum produk tersebut adalah halal. Di sinilah lembaga sertifikasi halal memberikan peranan pentingnya.
Hal tersebut sebagaimana diungkapkan Dr. Fuad Zen, M.A., Ketua Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah dalam webinar Halal Food “Faith and Food” pada Rabu (30/11) sore. Webinar tersebut diselenggarakan oleh Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (LLPI UMY), bekerjasama dengan Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Majelis Dikti Litbang PP Muhammadiyah, dan Asosiasi Kantor Urusan Internasional PTMA.
“Seiring berjalannya waktu, kehadiran lembaga sertifikasi halal juga menjadi penting sebagai sebuah badan yang secara sah melakukan kajian lebih dalam untuk menentukan halal atau harammnya suatu produk. Di sinilah lembaga sertifikasi halal mempunyai peranan penting,” terang Fuad.
Menurut Fuad lembaga sertifikasi halal membuka kajian lebih dalam untuk menentukan status halal atau haramnya sebuah produk, hal ini karena ada sesuatu yang tidak dinyatakan dalam produk tersebut, maka disitu peluang-peluang kajian tersebut ada.
Fuad juga mengklaim jika kajian-kajian ini menunjukan adanya fleksibilitas perkembangan hukum pangan. “Adanya kajin-kajian ulama atau lembaga halal terkait halal dan haramnya sebuah produk seiring berkembangnya zaman dan teknologi, ini menunjukan fleksibilitas hukum pangan,” paparnya.
Ia juga menyebut jika dalam menentukan status halal dan haram pada produk modern tidaklah mudah. Karena bahan-bahan dari sebuah produk sederhana sudah jelas kehalalannya, misalnya buah-buahan dan sayuran. Namun diantara banyaknya produk halal dan haram, juga cukup banyak produk yang masih samar-samar hukumnya (Syubhat) dan ini biasanya ditemukan di produk modern, misalnya obat obatan. Di sini juga peranan ulama dan lembaga sertifikasi untuk melakukan pendekatan hukum dan ijtihad dalam menentukan hukum produk tersebut.
Sementara itu Elvina Agustin Rahayu, M.P. selaku Assessment and Research Institute of Halalan Tayyiban of Muhammadiyah mengatakan dalam menentukan status halal haram sebuah produk perlu proses panjang. Ia menjelaskan lebih lanjut, semua lembaga sertifikasi merujuk pada ketetapan fatwa MUI.
“Untuk mendapatkan sertifikat halal sebuah produk, ini akan melalui proses panjang. Sebuah produk yang ingin memiliki sertifikasi halal akan didaftarkan oleh lembaga, pengusaha atau individu dengan melengkapi berkas tertentu. Kemudian kehalalan dari produk tersebut akan dievaluasi melalui sebuah asesmen yang selanjutnya akan dikeluarkan status halalnya melalui fatwa MUI, lalu barulah dikeluarkan sertifikatnya,” jelasnya. Menurutnya kajian yang dilakukan oleh lembaga sertifkasi ini sangat penting untuk mengetahui status halal sebuah produks secara pasti.
Dr. apt. Hari Widodo, M. Sc selaku Biotechnology and Halal Centre UMY, juga menambahkan jika kehalalan sebuah produk modern memang perlu ditinjau. Hal ini karena produk modern diproduksi dengan melibatkan teknologi modern juga, sehingga yang perlu ditinjau tidak hanya sebatas cara penyajian, zat yang terkandung di dalamnya dan juga cara produksinya saja. (RM)