Dalam masa pertumbuhannya, psikologi anak memiliki andil besar dalam membentuk perspektif anak. Bagaimana ia akan menjalani keseharian dan juga untuk masa depannya. Dalam hal tersebut lingkungan memiliki andil besar dalam membangun psikologis anak, misal anak yang hidup dalam lingkungan yang damai dan sejahtera akan memiliki pandangan hidup yang positif dan bersemangat dalam hidupnya. Namun ketika lingkungannya buruk, misal dalam wilayah yang terdampak bencana, maka perkembangan psikologi anak sangat mungkin terganggu. Hal tersebut disampaikan oleh Suwarni dalam sidang terbuka untuk Program Doktor Psikologi Pendidikan Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) pada hari Kamis (27/12) di Gedung Kasman Singodimedjo.
Dalam disertasi dengan judul “Analisis Pengaruh Faktor-Faktor Berdampak Bencana Lumpur Lapindo Terhadap Perkembangan Psikologis Anak di Wilayah Kecamatan Tanggulangin, Sidoarjo” tersebut, Suwarni berpendapat bahwa lingkungan yang buruk menjadi salah satu faktor kuat penyebab perkembangan negatif psikologis anak. “Perkembangan psikologis di sini maksudnya adalah perkembangan perilaku anak. Dalam kasus yang saya teliti, lingkungan yang terdampak bencana Lumpur Lapindo tersebut terbukti berdampak buruk pada perkembangan anak secara psikologis. Hal tersebut terjadi karena kondisi yang tidak normal tersebut mengganggu persepsi dan pemahaman anak tentang bagaimana menyikapi suatu peristiwa,” ujarnya.
Dosen Universitas Muhammadiyah Ponorogo (UMPO) tersebut menyebutkan bahwa proses tumbuh kembang anak di wilayah tersebut terganggu sehingga banyak dari mereka yang kemudian tidak memiliki masa depan. “Banyak dari anak yang tinggal di wilayah tersebut kemudian pendidikannya terganggu atau bahkan tidak mampu dan mau melanjutkan pendidikan. Selain itu hubungan dan interaksi di dalam keluarga maupun dengan orang lain menjadi terkesan kasar, belum lagi kondisi ekonomi yang juga terkena imbasnya. Kondisi tersebut sangat mungkin terjadi di wilayah terdampak bencana lainnya, seperti misalnya di wilayah yang terkena bencana Tsunami lalu di Banten,” ujarnya.
Suwarni menyampaikan bahwa penanganan yang dilakukan untuk masalah tersebut belum tuntas hingga saat ini. “Hingga saat ini, lebih 12 tahun lamanya sejak bencana tersebut terjadi, namun masih banyak masalah yang belum sepenuhnya diselesaikan termasuk di dalamnya adalah persoalan sosial yang dialami masyarakat sekitar. Untuk kasus pendidikan anak misalnya, saat ini masih sangat menggantungkan pada kedermawanan dan volunteering yang dilakukan oleh orang lain. Pihak pemerintah seharusnya dapat melakukan penanganan khusus pada aspek sosial tersebut, dan bukan hanya pada ganti rugi bangunan saja,” paparnya.
Kedepannya Suwarni berharap pemerintah memiliki skema khusus dalam menangani psikologi anak yang terdampak oleh bencana. “Saya berharap agar pemerintah dapat memberikan penanganan yang secara aktif dan berkelanjutan dalam menyelesaikan permasalahan sosial semacam ini. Terlebih yang menyangkut anak karena mereka merupakan generasi masa depan yang nantinya akan melanjutkan negeri ini,” pungkas Suwarni. (raditia)