Dewasa ini kebiasaan dan budaya masyarakat sudah beralih menuju era digital di tengah keberagaman yang ada. Hal tersebut merupakan pengaruh dari pesatnya perkembangan teknologi. Untuk itu Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) menyelenggarakan kegiatan Sekolah Literasi Media bertajuk “Literasi Media Digital Sebagai Ikhtiar Merajut Keberagaman” pada Rabu (21/3) di Lobi FISIPOL UMY.
Diah Angendari selaku narasumber dari Center For Digital Society (CFDS) Universitas Gadjah Mada (UGM) menyampaikan bahwa media sosial adalah sebuah Publik Sphare atau sebuah ruang yang mewadahi orang-orang untuk berkumpul atau berdiskusi yang kemudian menghasilkan kebijakan publik. “Media sosial yang semula menjadi ruang publik dan fasilitator untuk berdiskusi justru pada kenyataannya membawa kepentingan masing-masing bagi penggunanya. Berdasarkan algoritma teknologi (sosial bubble) saat ini ketika pengguna media sosial telah membuka suatu konten tertentu maka selanjutnya timeline media sosial pengguna tersebut akan dipenuhi dengan konten-konten terkait. Dari sinilah para pengiklan memanfaatkan ketertarikan pengguna media sosial untuk media promosi. Pada akhirnya pengguna media sosial akan terus melihat segala sesuatu dari media sosial hanya dari satu sudut pandang yang dapat mempengaruhi pemikiran penggunanya,” ujar Angendari.
Lebih lanjut Diah menjelaskan bahwa literasi media bukan hanya masalah teknisnya saja. Tidak hanya mengajak masyarakat untuk bisa menggunakan computer atau membedakan baik dan buruk melainkan memahami bagaimana caranya memberdayakan informasi yang dimuat dalam internet era 2.0. “Media sosial tidak dapat dikatakan buruk begitu saja, sebab baik buruknya media sosial tergantung dari penggunanya. Dalam kaitannya dengan isu keberagaman, media sosial memiliki andil yang sangat besar. Media sosial dapat memberikan pengaruh positif maupun negatif terhadap pemikiran penggunanya dalam konteks keberagaman,” papaar Diah.
Untuk melawan isu anti keberagaman terdapat tiga pilar yang berpengaruh yaitu pesan, pengirim pesan, dan media. Dibutuhkan sinergi yang baik antara konten, orang yang menyampaikan dan media yang digunakan. “Orang yang menyampaikan harus mempunyai kredibilitas, harus bisa dipercaya. Sekarang di instagram banyak selebgram, banyak influencer, mungkin orang seperti ini yang bisa dimanfaatkan oleh pemerintah dalam upaya menyampaikan pesan-pesan positif dalam keberagaman. Kemudian medianya juga harus tepat, karena percuma kalau kontennya sudah bagus, messager tepat, tapi medianya salah, itu pesannya tidak akan diterima,” tandas Diah.
Diah juga berpesan bahwa untuk memulai literasi digital dengan cara mengajarkan orang untuk fact checking dan komparasi. “Jadi ketika kita membaca suatu berita di media kita tidak langsung percaya, misalnya kita mencari berita siapa yang share, sumbernya dari mana, sumber yang dipercaya itu yang seperti apa. Setelah fact checking kita harus komparasi yaitu mencari tahu apakah media lain juga memberitakan yang sama atau tidak. Harapan saya adanya diskusi ini pengguna harus cerdas dan bijak menggunakan media sosial, karena upaya paling tepat dalam menggunakan media sosial dalam isu keberagaman terletak pada pengguna yang kritis menerima informasi yang didapat melalui media sosial karena banyaknya konflik bermula dari berita-berita bohong yang tidak memiliki kredibilitas dan tidak bisa dipertanggungjawabkan,” tutupnya. (Sumali)