Keunggulan dari Perguruan Tinggi Swasta (PTS) menjadi prioritas untuk mengimplementasikan aset di bidang keilmuan yang dimiliki, sekaligus menjamin kualitas dari pendidikan di PTS. Adanya komitmen bersama dari seluruh PTS yang berada di bawah Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDIKTI) Wilayah V di DIY menjadi sinergi untuk mencapai target akreditasi unggul dari program studi di seluruh PTS di DIY. Komitmen tersebut ditandatangani secara resmi oleh pimpinan dari 100 PTS pada Senin (30/9) yang bertempat di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).
Kepala LLDIKTI Wilayah V, Prof. Setyabudi Indartono, M.M., Ph.D. merasa bahwa sumber daya dan kapabilitas dari setiap PTS harus dioptimalkan dengan berkolaborasi. Setyabudi ingin mengedepankan strategi leapfrogging atau perkembangan yang progresif dengan berbasis joint resources antar PTS di DIY. Target LLDIKTI Wilayah V untuk program studi unggul adalah sebesar 51,98% dari 85 PTS, berdasarkan data yang sudah dikirim oleh masing-masing PTS.
“Saat ini, dari 750 program studi di seluruh PTS di DIY, ada sekitar 131 diantaranya yang sudah terakreditasi unggul dan 65 terakreditasi A. Target yang sudah kami tetapkan bersama ini dapat meningkatkan kualitas program studi di masing-masing PTS tersebut. Dengan jangka waktu selama 4 tahun, capaian yang sudah ditargetkan tersebut dapat menjadi upaya untuk semakin mendapatkan rekognisi dan kepercayaan dari masyarakat,” ujar Setyabudi.
Penandatanganan komitmen bersama yang dilakukan pada hari ini pun menjadi kesepakatan untuk menumbuhkan suasana akademik di lingkungan kampus dengan lebih baik, melalui tercapainya akreditasi unggul atas program studi di PTS. Berbagai kerja sama yang diprakarsai oleh PTS pun diharapkan dapat mempercepat tercapainya target tersebut, sesuai dengan bidang keahlian di berbagai program studi.
Kolaborasi dan kerja sama pun menjadi faktor penting yang dianggap oleh Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) Wilayah V, Prof. Dr. Fathul Wahid, M.Sc., Ph.D. memiliki tolok ukur yang dilihat dari kualitas, kuantitas hingga jenjang yang mencakup kolaborasi tersebut. Fathul menggambarkan bahwa model kerja sama Triple Helix yang melibatkan perguruan tinggi dengan pemerintah dan industri perlu diterapkan secara efektif untuk mencapai tujuan dari komitmen yang sudah ditandatangani oleh seluruh PTS di DIY.
“Idealnya adalah kerja sama yang menggunakan model Triple Helix ini berjalan dengan seimbang, artinya tidak ada pihak yang terlalu mendominasi antar satu dengan yang lain. Bapak Ibu para pimpinan PTS perlu mempertimbangkan kelebihan dan kekurangan dalam menjalankan kerja sama, dimana setiap pihak memiliki porsi dan kapasitas yang seimbang. Ini untuk mengantisipasi kurangnya komunikasi dan mempercepat tercapainya tujuan bersama,” ujar Fathul.
Manajemen kerja sama efektif yang dilakukan oleh PTS dapat didasari oleh faktor dan kapasitas yang berbeda termasuk alokasi sumber daya dan strategi implementasi. Menurut Fathul ini dapat disesuaikan dengan skema kerja sama baik dengan institusi dan pemerintah, bahkan dengan komunitas masyarakat. Seluruhnya mendorong tercapainya akreditasi, namun Fathul mengingatkan bahwa kerja sama bukan hanya semata untuk akreditasi.
“Kalau semisal akreditasi di program studi belum meningkat, itu bukan karena kerja sama yang tidak baik. Pemikiran bahwa kerja sama itu penting harus diterapkan agar pimpinan PTS tidak melupakan esensi dari kerja sama, yaitu peningkatan mutu, manfaat dan keberlanjutan pendidikan serta penelitian yang relevan dengan program studi,” pungkas Fathul. (ID)