Non Governmental Organization (NGO) atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) perlu mengambil posisi sebagai mitra kritis bagi pemerintah daripada membangun hubungan konfrontatif. Hal ini didasari adanya program-program pembangunan yang belum menyentuh keseluruhan permasalahan yang dihadapi masyarakat, sehingga seringkali kemudian diambil alih oleh LSM terkait.
Demikian disampaikan H. Asep Purnama Bahtiar, S.Ag., M.Si., Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (FAI UMY) di Kampus Terpadu UMY, Rabu (21/4) mengenai keikutsertaannya dalam workshop dan konferensi yang diselenggarakan oleh China NGO Network for International Exchanges (CNIE) bekerja sama dengan UN-NGO-Informal Regional Network/Asia Pasicif (IRENE) di Beijing, Qinghai dan Shanghai, 29 Maret hingga 8 April lalu. Workshop “Sustainable Development and Harmonious Social Progress in Outlying Regions” dan konferensi “Women Empowerment in Development of Outlyng Regions” tersebut diikuti oleh utusan NGO dari sepuluh Negara (Indonesia, Filipina, Thailand, India, Pakistan, Banglades, Turki, Uzbekistan, Kazakastan, dan China—selaku tuan rumah).
Menurutnya NGO harus menjadi mitra yang kritis bagi negara atau pemerintah. Mitra yang kritis dimana NGO dan pemerintah saling bekerja sama dengan tetap mengkritisi kebijakan pemerintah yang dinilai kurang tepat dalam menyejahterakan rakyat. “NGO dapat mengingatkan pemerintah ketika ada permasalahan yang belum diselesaikan dengan baik. Demikian juga pemerintah harus dapat menerima masukan dari LSM. Sehingga antara LSM dan pemerintah dapat saling berdampingan demi kepentingan bangsa dan negara,”jelasnya.
Sebagian orang menganggap di Indonesia posisi LSM dengan pemerintah seolah-olah seperti ada konfrontasi atau pertentangan. “Selama ini hubungan LSM dengan pemerintah seolah-olah terjadi konfrontasi namun konfrontasi disini bukan konfrontasi fisik melainkan konfrontasi dalam hal berbeda pendapat,” tuturnya. Sehingga demi kepentingan masyarakat hubungan antara NGO dengan pemerintah tidak bisa konfrontatif melainkan sebagai mitra yang kritis.
Dalam konferensi yang diselenggarakan di Qinghai tersebut, Dosen FAI UMY yang juga menjadi Sekretaris Majelis Pendidikan Kader PP Muhammadiyah ini juga mempresentasikan makalah berjudul “Muhammadiyah: Civil Society Movement for People Empowerment”. Dalam presentasinya Asep memaparkan bahwa Muhammadiyah dikenal bukan hanya sebagai Islamic organization tetapi juga sebagai NGO atau salah satu model dari civil society movement atau Islamic civil society dengan berbagai program dan kegiatan untuk pemberdayaan dan pencerahan masyarakat. Bidang pendidikan (tingkat dasar dampai pendidikan tinggi) merupakan salah satu program utama Muhammadiyah untuk memberdayakan masyarakat dan mencerdaskan bangsa.
“Muhammadiyah bukan hanya sebagai Islamic movement saja, tetapi juga bisa dipandang sebagai model NGO yang berkontribusi dalam upaya pemberdayaan dan mencerdaskan masyarakat melalui seluruh amal usahanya, baik di bidang pendidikan, kesehatan maupun layanan sosial lainnya,” urainya. Selama ini seluruh kegiatan Muhammadiyah merupakan upaya untuk mencerdaskan dan memberdayakan masyarakat.
Terkait dengan workshop dan konferensi di negeri tirai bambu itu, Asep menambahkan bahwa kita harus banyak belajar dengan keseriusan maupun kecermatan China dalam menjalankan program-program pemerintahan. Sehingga program pembangunannya bisa berjalan dengan bagus dan nyaris tidak ada penyalahgunaan anggaran, karena ancaman hukuman bagi kejahatan korupsi di China sangat keras, hukuman mati.
China merupakan negara komunis tetapi di sana terdapat NGO. Meskipun NGO di China muncul karena dukungan pemerintah, masyarakat dan dunia bisnis, yang berbeda dengan NGO di negara-negara lain seperti Indonesia yang muncul atas prakarsa kaum intelektual atau inisiatif masyarakat. “Harus ada motivasi memperkuat etos kerja dalam upaya memberdayakan dan menyejahterakan rakyat,” pungkasnya. Hasil diskusi dalam konferensi di Qinghai tersebut akan dijadikan rekomendasi bersama untuk pertemuan rutin The Annual Ministerial Review of UN ECOSOC, pada bulan Juli 2010.