Dari tahun ke tahun, permasalahan korupsi mengalami peningkatan intensitasnya. Dalam upaya pemberantasan korupsi, mahasiswa memiliki peran yang strategis untuk berkontribusi dalam aktivitas konkret dengan melakukan pemetaan korupsi termasuk memberikan advokasi kepada korban korupsi.
Demikian disampaikan Ketua KPK, Busyro Muqoddas dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional dalam Pemberantasan Korupsi, di Sportorium UMY, Senin (7/3) sore dalam rangkaian Silatnas BEM PTM se-Indonesia yang akan berakhir pada Rabu (9/3).
Menurutnya, bangsa perlu diberi kontribusi berupa aktivitas konkret yang mana hal tersebut perlu didukung oleh para agen perubahan (agent of change), terutama dari kalangan civitas akademika, terutama mahasiswa. Busyro menngungkapkan korupsi muncul jika ada demoralisasi yang dilakukan aktor kekuasaan. “Aktor kekuasaan tersebut adalah para elite politik dan birokrasi,” jelasnya.
Korupsi bisa ditekan jika para aktor kekuasaan punya moral dan etika yang baik. Hampir 70% kekayaan Negara berasal dari penerimaan pajak yang paling rentan menjadi sumber korupsi. “Dari tahun ke tahun, korupsi menjadi permasalahan yang meningkat intensitasnya,” terang Busyro. Dari penyelewengan uang Negara tersebut, sektor belanja barang dan jasa merupakan sektor yang sering dimanipulasi maupun melalui penggelapan anggaran fiktif. Pelaku dari penggelapan anggaran Negara umumnya mereka yang punya jabatan publik serta pengusaha yang memiliki kerjasama dengan penguasa.
Untuk itu, dalam upaya pemberantasan korupsi ini, Busyro mengatakan pentingnya peran mahasiswa dalam meningkatkan kekuatan moral dalam skala nasional jika pergerakan mahasiswa memiliki agenda konkret untuk melakukan pemetaan korupsi. “Mahasiswa menjadi bagian tak terpisahkan dari program KPK untuk bergandengan tangan dengan berbagai unsur masyarakat madani untuk melakukan upaya pemberantasan korupsi termasuk memberikan advokasi kepada masyarakat yang menjadi korban korupsi,” pungkas Busyro.
Sementara itu, aktivis Hukum yang juga mantan kandidat Ketua KPK, Bambang Widjojanto mengungkapkan jika selama ini masih ada bias paradigma terkait korupsi. “Masih terdapat bias paradigma dalam masyarakat yang beranggapan jika korupsi hanya terkait dengan persoalan penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan para koruptor tersebut. Korupsi juga hanyalah isu kerugian Negara dan dilakukan oleh penyelenggara Negara. Korupsi seolah-olah hanya menjadi permasalahan hukum. Hal ini merupakan pandangan sempit karena korupsi tak semata-mata merugikan keuangan Negara,” tegas Bambang.
Ia melanjutkan jika dampak korupsi tak hanya merugikan keuangan Negara. “Lebih dari itu, korupsi bisa menghancurkan peradaban dimana nilai etika dan sistem keadilan, ekonomi, dan keberlanjutan Negara bisa rusak. Hal ini karena korupsi merupakan miniatur kejahatan yang bisa menghancurkan proses kinerja dan sistem dalam Negara,” tegas Bambang.
Bambang juga mengatakan jika sistem Negara justru memproduksi koruptor lebih banyak daripada membawa koruptor ke pengadilan. Untuk itulah, gerakan pemberantasan korupsi menjadi sangat penting dilakukan untuk kemudian bisa mengintegrasikan kebijakan preventif dalam pemberantasan korupsi secara terkonsolidasi.
Bambang memaparkan jika saat ini bangsa memerlukan orang tak hanya artikulasi, namun juga memerlukan orang yang memiliki kecerdasan berbagai macam modus operandi bagaimana kemungkinan korupsi tersebut bekerja. “Korupsi dilakukan dengan cara yang cerdas, oleh karenanya dalam mengupayakan pemberantasan korupsi, dibutuhkan keterampilan yang mana korupsi dapat dilawan dengan intelektualitas juga dengan memahami berbagai modus operandi yang memungkinkan munculnya korupsi. Dengan ini diharapkan akan muncul gerakan sosial anti korupsi demi perubahan yang lebih baik,” tandasnya.