Memasuki masa perkuliahan, seorang mahasiswa dinilai tidak cukup jika hanya memiliki nilai yang tinggi saja. Selain berprestasi di kelas, mahasiswa juga diharapkan memiliki nilai plus di luar aktivitas akademik.
Hal tersebut disebutkan oleh Dr. Andi Widjajanto, mantan Sekretaris Kabinet RI, dalam Masa Ta’aruf (Mataf) Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (ISIPOL) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta pada Rabu (07/09). Dalam agenda yang dilaksanakan Sportorium UMY tersebut, Andi menyemangati para maba Fisipol untuk juga aktif dalam aktifitas di luar kelas.
“Saat lulus nanti, mahasiswa zaman sekarang sudah harus bisa memiliki IPK minimal 3.00, karena kita sudah dihadapkan pada masa persaingan. Sisi plus yang lainnya yang harus dimiliki adalah aktif organisasi, lakukan magang di lembaga-lembaga tertentu, dan juga lakukan pengabdian masyarakat,” tegas Andi.
Dengan demikian, Andi menyebutkan bahwa mahasiswa akan dipandang baik oleh masyarakat di sekitarnya. Masyakarat akan menilai bahwa mahasiswa yang memiliki sisi plus tadi adalah mahasiswa yang tidak hanya pintar, tetapi juga memiliki kepedulian dan inisiatif.
Dosen FISIP Universitas Indonesia tersebut juga menyebutkan bahwa generasi kelahiran 1995 ke atas, merupakan generasi Y. Generasi Y ini dinilai sebagai generasi positif yang memiliki sudut pandang optimisits. “Generasi Y ini, contohnya saat melihat merebaknya budaya K-Pop ke Indonesia, mereka tidak akan takut jika K-Pop merajai budaya di Indonesia. Sudut pandang generasi ini akan lebih optimis, jika budaya Indonesia dapat bersaing dengan budaya K-Pop,” jelas Andi.
Dalam pemaparannya terkait peradaban yang akan berkembang di masa mendatang, Andi menyebutkan bahwa setelah tahun 2050, Cina dan India diramalkan akan menjadi negara superpower nomor 1 di dunia. “Cina pada tahun itu dinilai kuat baik secara ekonomi dan militer, sehingga mampu berada di posisi nomor 1 di dunia. Lalu dimana posisi Indonesia? Itu tergantung apakah kita siap atau tidak. Tergantung apakah para mahasiswa ini optimis memandang ke depan. Dan tergantung kepada seberapa yakin kita terhadap diri kita sendiri,” ungkap Andi.
Dalam forum yang sama, hadir pula KH. Miftah Maulana Habiburrahman, tokoh dari Nahdatul Ulama (NU), yang akrab disapa Gus Miftah. Ia memberikan materi terkait nilai-nilai budaya Indonesia yang harus kembali dipegang kuat oleh para generasi saat ini.
Gus Miftah menyampaikan bahwa pada masa ini, ancaman terbesar bagi negara Indonesia bukanlah dari kaum Wahabi atau kaum-kaum dari golongan-golongan tertentu. “Ancaman terbesar hari ini bagi Bangsa Indonesia adalah darurat kerukunan. Itu yang lebih mengancam jati diri bangsa,” ujar Gus Miftah.
Untuk dapat mempertahankan jati diri bangsa, Gus Miftah memberi nasehat kepada para maba Fisipol untuk tidak malu mengenakan identitas bangsa Indonesia. Itu karena Indonesia disebut Gus mempunyai budaya dan kearifan lokal sendiri. “Umat Islam di Indonesia tidak harus ikut-ikut mengenakan jubah, karena jubah itu budaya Arab. Di Arab, orang ke ladang kurma, supir bus, semua mengenakan jubah. Kita sebagai muslim Indonesia boleh memakai sarung, batik yang merupakan kebudayaan kita,” tutur Gus Miftah. (Deansa)