Salak merupakan salah satu buah yang banyak tumbuh di Indonesia. Banyak manfaat yang dapat didapatkan dari buah salak termasuk dari biji salak. Bagi kebanyakan orang biji salak hanya dianggap sebagai limbah. Namun, tidak selamanya limbah tidak memiliki manfaat sama sekali. Hal tersebut yang menginspirasi Kelompok Kuliah Kerja Nyata (KKN) 12 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) untuk memberikan penyuluhan dan pelatihan pembuatan kopi biji salak terhadap warga Padukuhan Potro, Purwobinangun, Pakem, Sleman, DI Yogyakarta.
Kelompok yang terdiri dari 10 orang dan 1 orang Dosen Pembimbing Lapang (DPL) melihat begitu banyak limbah biji salak di Padukuhan Proto dan belum ada yang tergerak untuk memanfaatkan hal tersebut. Warga juga mungkin belum paham bagaimana proses pengolahannya sehingga menjadi serbuk minuman. “Selain dalam rangka memanfaatkan limbah, penyuluhan ini juga melihat keadaan warga Potro yang selama ini hanya menjadi petani salak dan belum banyak yang melakukan pengembangan pengolahan salak,” tutur Muhammad Anshori Ketua KKN 12 UMY saat dihubungi pada Sabtu (3/2).
Penyuluhan dan pelatihan pembuatan kopi biji salak tersebut, menurut Anshori sudah dilakukan pada Minggu (28/1) yang lalu, dengan mengundang Sri Sujarwati selaku pengembang industri kreatif olahan salak sebagai pematerinya. “Dalam pemaparannya, ibu Sri Sujarwati mengatakan bahwa buah Salak itu bisa memiliki nilai jual lebih tinggi. Dengan catatan, petani Salak bisa berinovasi untuk menciptakan produk olahan dari buah Salak. Seperti keripik, dodol, manisan, atau kopi. Kalau sudah dalam bentuk inovasi produk seperti itu biasanya harga jualnya bisa lebih tinggi dari nilai jual tengkulak. Apalagi peminat produksi olahan Salak saat ini juga sudah meluas sampai keluar pulau jawa,” ujar Anshori lagi.
Proses pembuatan kopi bubuk kentos/biji Salak sendiri menurut Anshori membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Sebab ada beberapa tahapan yang harus dilalui. Mulai dari pencucian, pengeringan, sangrai hingga penumbukan. “Biji Salak harus dicuci sampai bersih, baru kemudian dikeringkan hingga benar-benar kering. Proses pengeringan menggunakan sinar matahari. Jika menurut pengalaman dari Ibu Sri Sujarwati, untuk benar-benar kering waktu yang dibutuhkan sekitar 30 hari. Biji Salak yang sudah kering tersebut kemudian disangrai sampai hitam dan mengeluarkan bau khas kopi biji Salak. Proses sangrai membutuhkan waktu sekitar 15 hingga 30 menit. Langkah selanjutnya adalah biji Salak ditumbuk hingga halus, atau bisa menggunakan blender agar halusnya lebih merata,” jelasnya.
Penyuluhan dan pelatihan yang diikuti oleh ibu-ibu Pembina Kesejahteraan Keluarga (PKK) Padukuhan Potro ini, imbuh Anshori lagi, berjalan dengan lancar. Tidak hanya melihat cara pembuatan kopi biji Salak yang dilakukan oleh Sri Sujarwati, mereka juga diajak untuk ikut serta dalam proses pembuatannya bersama kelompok KKN 12 UMY. Bahkan hingga akhir pelatihan, mereka juga tidak ragu untuk mencicipi hasil olahan biji Salak yang mereka buat. Ada yang mencicipinya dengan jari telunjuk, diminum dengan air hangat bahkan beberapa warga meminta untuk dibungkus dan dibawa pulang.
Dari berbagai proses pengolahan tersebut pula dihasilkan bubuk kopi biji Salak/kentos yang siap untuk diseduh. Proses pengolahan tersebut juga mampu menghasilkan 4 kg bubuk kopi kentos dari 20 kg bahan biji Salak. Harga kopi kentos yang dihasilkan dari Kelompok KKN 12 UMY tersebut dipatok dengan harga Rp 25.000,- /100 gram.
Melalui kegitan tersebut, Anshori beserta kelompok KKN 12 UMY lainnya pun berharap agar warga termotivasi untuk terus mengembangkan secara nyata produk olahan Salak hingga tahap pemasaran. “Secara berkelanjutan tentunya. Tidak hanya menjadi petani Salak namun sekaligus pengusaha produk olahan Salak,” tutupnya. (zaki)