Proses pembuatan kerajinan batik kayu di Sanggar Peni, Dusun Krebet, Bantul ternyata memiliki beberapa permasalahan yang harus dipecahkan. Diantaranya seperti proses pengeringan batik kayu, debu pengamplasan yang selalu terhirup oleh pengrajinnya, dan tingkat kenaikan penjualan produk yang tidak terlalu tinggi. Karena itu, mahasiswa yang tergabung dalam Kuliah Kerja Nyata (KKN) Internasional Singapore Polytechnic, Duy Tan University Vietnam, Kannazawa Institute of Technology Japan, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) dan Universitas Pembangunan Nasional (UPN), mencoba membantu Sanggar Peni dengan memberikan ide pembuatan vakum penyedot debu, troli jemuran, dan pelatihan marketing.
Avinash, salah seorang mahasiswa Singapore Polytechnic (SP) mengatakan bahwa permasalahan yang mereka temui itu, adalah hasil wawancara mereka pada pemilik sanggar dan para pengrajin batik kayu. Mereka melakukan wawancara itu untuk mengetahui apa yang pemilik dan pengrajin itu inginkan. “Dan kami menemukan tiga permasalahan utama tersebut. Dari sanalah kemudian kami mencoba memberikan solusi dengan pembuatan vakum penyedot debu kayu saat proses pengamplasan, troli untuk menjemur batik kayu, dan pelatihan marketing,” ujarnya saat pameran prototipe hasil karya mahasiswa KKN Internasional di gedung Ar. Fakhruddin B Kampus Terpadu UMY, Kamis (20/3).
Untuk vakum itu sendiri menurut Avinash, digunakan saat para pengrajin melakukan proses pengamplasan pada kayu. “Dalam proses pembuatan batik kayu itu biasanya ada proses pengamplasan dulu. Dan di sana proses pengamplasan itu juga sudah menggunakan mesin. Namun debu-debu kayu saat itu tetap beterbangan dan terhirup oleh pengrajin. Jadi, kami mencoba memasangkan vakum itu di belakang mesin, agar debunya tidak terhirup oleh pengrajin, tapi tersedot oleh vakum,” paparnya.
Fadhila Najmi Laila Hikmat, mahasiswi angkatan 2011 Agribisnis Fakultas Pertanian UMY juga menjelaskan, pembuatan troli jemuran itu sendiri terinspirasi dari sukarnya para pengrajin mengangkat batik kayu yang sudah dijemur saat tiba-tiba turun hujan. “Selama ini, kalau mereka menjemur batik kayu itu masih diletakkan di lantai saja. Sehingga kalau hujan, mereka harus mengambilnya satu persatu dan itu membuat mereka kesusahan. Jadi, kami memberi mereka alternatif dengan troli jemuran bertingkat dan juga beroda ini, agar mereka lebih mudah mengambil batik kayunya, dan tidak perlu mengambilnya satu persatu,” jelasnya.
Sementara itu, untuk ide marketing yang mereka cetuskan itu dengan pembuatan buku katalog, publisitas dan branding. Menurut Najmi, sistem marketing yang diterapkan di Sanggar Peni tersebut masih tradisional, karena belum benar-benar digeluti. “Jadi kami menyarankan mereka untuk bisa melakukan promosi melalui media sosial. Kemudian untuk brandingnya, kami membuatkan stiker yang berisi alamat dan nomor telepon, bukan hanya logo saja seperti sebelumnya yang mereka lakukan. Stiker itu nantinya juga harus disertakan saat pengiriman barang keluar, jadi orang lain yang tertarik dengan produk batik kayu dari Sanggar Peni ini bisa mudah menghubungi pengusahanya,” paparnya.
Untuk mempermudah pemasarannya, mahasiswa KKN Internasional ini juga membuatkan buku katalog yang berisi hasil-hasil produksi batik kayu dari Sanggar Peni. “Kami juga mendesainkan kaos untuk para pengrajinnya. Agar kalau ada wisatawan lokal maupun asing yang datang ke sana, bisa lebih terlihat profesional,” imbuhnya.
Khuyen, peserta KKN Internasional dari Duy Tan University Vietnam mengatakan, bahwa munculnya ide marketing tersebut disebabkan mereka melihat tingkat penjualan batik kayu yang masih rendah. Pada tahun sebelumnya produk yang berhasil dijual mencapai 10 ribu, kemudian pada kurun waktu 2013 hingga 2014 produk yang berhasil dijual hanya naik seribu menjadi 11 ribu. Karena itu mereka ingin membantu menaikkan omset penjualannya hingga 9 ribu produk tiap tahunnya. “Atau dengan kata lain, dari yang awalnya 11 ribu produk, pada tahun 2015 besok produk yang dijual bisa mencapai 20 ribu,” katanya.
Khuyen juga menambahkan, omset penjualan yang masih naik sedikit itu karena tidak efektifnya strategi pemasaran dan tidak stabilnya permintaan. “Kemudian juga kurang menariknya desain penataan produk jadi di dalam rumah, karena kurangnya pencahaayaan. Kurang terlatihnya sumberdaya manusia dalam pengelolaan marketing, serta meningkatnya biaya bahan mentah dan bahan pokok untuk kerajinan batik kayu,” imbuhnya. (sakinah)