Berita

Mahasiswa UMY Ciptakan Alat Deteksi Curah Hujan Tepat Guna

Para petani kini disulitkan untuk memperkirakan waktu tanam dan panen padi atau tanaman lain. Selama ini para petani cenderung menentukannya dengan tradisi yang telah ada secara turun temurun dengan melihat siklus curah hujan yang teratur. Namun, curah hujan yang saat ini mengalami siklus tidak menentu. Hal ini membuat petani kesulitan untuk memproduksi dengan kualitas terbaik karena tidak bisa lagi tergantung pada tradisi tersebut.

Dilatarbelakangi hal tersebut Andi Kurniawan, Mahasiswa Teknik Elektro Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (TE UMY) berhasil menciptakan alat pendeteksi curah hujan tepat guna dengan biaya produksi yang terjangkau oleh masyarakat. Dijelaskan Andi Senin (26/12) di Kampus Terpadu UMY, bahkan biaya produksi alat pendeteksi ini dapat diminimalisasi hingga sekitar empat ratus ribu rupiah.

Alat ini dijelaskan Andi menggunakan komponen-komponen sederhana dalam produksi, yaitu corong, penjungkit, mikrontroler, alat transmisi wireless dan alat penampil data seperti komputer. Corong digunakan sebagai penampung pertama air hujan. Air hujan kemudian dialirkan ke penjungkit sehingga terjadi jungkitan saat volume air hujan yang tertampung di penjungkit telah mencapai jumlah yang ditetapkan. Jumlah jungkitan yang terjadi pada penjungkit tersebut lalu dihitung oleh Optocoupler sebagai sensor.

Data berupa jumlah yang jungkitan yang dihitung Optocoupler ini akan diolah oleh mikrokontroler sebagai pengolah dan akan dikirimkan ke komputer secara wireless. Data ini akan tersimpan secara otomatis di komputer sebagai data curah hujan. “Di alat yang saya rancang ini,  saya menggunakan alat transmisi wireless jenis TRW 2.4G. Data curah hujan yang akan muncul juga diatur dengan satuan milimeter per jam. Bisa juga diubah menjadi sesuasi kebutuhan dan biaya”, terangnya Andi.

Menurut Andi, sebenarnya selama ini Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memiliki alat yang dapat digunakan untuk mengukur curah hujan dan kebutuhan lain. Permasalahannya, satu alat pengukur curah hujan yang digunakan BMKG tersebut biasanya hanya dapat mewakili daerah dengan radius sekitar 10 kilometer dari posisi alat tersebut. Hal ini dipersulit dengan mahalnya alat sehingga BMKG hanya dapat menempatkan alat tersebut di titik-titik yang terbatas.

Dilanjutkan Andi, permasalahan BMKG selanjutnya adalah pada upaya sosialisasi hasil alat tersebut. BMKG masih kesulitan untuk memberikan informasi curah hujan kepada seluruh masyarkat. “Selama ini, beberapa petani langsung datang ke petani untuk melihat hasil curah hujan. Namun, hal ini tidak efisien karena dibutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Sehingga banyak petani yang lebih memilih mengira-ngira secara tradisional”, jelasnya.

Selanjutnya Andi mengharapkan, alat ini dapat dimanfaatkan secara luas oleh para petani dan masyarakat umum sehingga mempermudah pengukuran curah hujan. Selain biaya terjangkau, pengunaannya pun cukup mudah dan tidak memakan waktu dan biaya tambahan. “Dengan alat ini, kita cukup melihat hasil pengukuran curah hujan di komputer tanpa melakukan proses apapun. Karena selama alat bekerja, data langsung secara otomatis tersimpan. Pada akhirnya petani dapat memproduksi padi dengan kualitas terbaik”.