Berita

Mahasiswa UMY Ciptakan Alat Deteksi Dini Tanah Longsor Bersensor Cahaya

Tanah longsor saat ini semakin sering terjadi di Indonesia. Bencana ini tidak hanya menimbulkan kerugian materi tetapi juga korban jiwa. Hal ini disebabkan sulitnya memprediksi secara dini potensi longsor di daerah-daerah rawan longsor yang dihuni masyarakat. Akibatnya, masyarakat tidak memiliki waktu untuk menyelamatkan diri dari tanah longsor yang terjadi dalam waktu yang cepat.

Hal ini mendorong R. Herjuna Sandra Darnastri, mahasiswa Teknik Elektro Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (TE UMY) menciptakan alat deteksi dini tanah longsor tepat guna bersensor cahaya. Dijelaskan Herjuna Jumat (6/1) di Laboratorium Teknik Elektro Kampus Terpadu UMY dengan alat ini, masyarakat sekitar daerah rawan longsor dapat mengantisipasi datangnya longsor dengan tanda nyala lampu dan bunyi sirine pada alat ini saat tanah bergeser dalam jarak tertentu.

Selama ini menurut Herjuna, beberapa alat deteksi tanah longsor yang diciptakan kebanyakan menggunakan potensiometer untuk mendeteksi terjadi tanah longsor. Namun dalam alatnya, Herjuna menggunakan sensor cahaya pada alat LDR (light dependent resistor) dan LED (light emitting diodes). Sensor cahaya menurut Herjuna digunakan karena potensiometer bila digunakan terus menerus dalam jangka waktu tertentu akan menimbulkan kerusakan. Selain menghasilkan nilai yang lebih stabil, alat deteksi dengan sensor cahaya akan lebih mudah dalam pembuatan mekanik dan kalibrasi alat.

Dalam proses pendeteksiannya, beberapa patok secara paralel ditanamkan di bagian-bagian tanah yang rawan longsor. Patok lalu dihubungkan ke LDR dan LED dengan menggunakan kawat baja elastis. Saat tanah bergeser, patok juga ikut bergerak menarik kawat baja sehingga LED menjauhi LDR. “Akan diperoleh nilai ADC (analog digital converter) yang dikonversikan menjadi nilai pergeseran tanah dengan satuan sentimeter. Nilai pergeseran itu lalu ditampilkan pada layar LCD (Liquid Crystal Display)”, terang Herjuna.

Selain tampilan pergeseran tanah pada LCD, alat ini juga menghasilkan output berupa peringatan dini dengan lampu indikator dan bunyi sirine. Ada 3 warna lampu indikator yang digunakan. Warna hujau menandakan terjadinya pergeseran tanah 2-3 cm dengan keadaan masih normal. Lampu kuning menandakan kondisi siaga 1 dengan jarak pergeseran 3-4 cm. Sementara lampu merah berarti siaga 2 mulai dari 4 cm. “Sementara sirine akan berbunyi pada kondisi siaga 3 dengan jarak 5 cm atau lebih. Pada alat simulasi ini saya menggunakan alat buzzer untuk menghasilkan suara. Sementara untuk aplikasinya dapat menggunakan alat yang menghasilkan suara yang lebih besar sehingga dapat didengar pada jarak yang lebih jauh” terangnya.

Pergeseran tanah 5 cm, menurut Herjuna dapat dinyatakan sudah cukup membahayakan atau dapat menimbulkan tanah longsor. Pergeseran tanah 5 cm akan membentuk rekahan tanah yang cukup besar sebesar 5 cm juga. Jika terjadi hujan, rekahan tanah ini dikahawatirkan akan dialiri air hujan dimana aliran air ini bisa membentuk bidang longsor yang mengakibatkan tanah longsor. “Dengan alat ini, masyarakat yang tinggal di daerah rawan longsor punya waktu untuk menyelamatkan diri dengan melihat lampu indikator dan suara yang ditimbulkan”, jelasnya.

Pada akhirnya Herjuna mengharapkan, alat ini selanjutnya dapat digunakan langsung di daerah-daerah rawan longsor di Indonesia. “Paling tidak dapat mengurangi korban jiwa yang sangat banyak selama ini. Alat ini memang dibuat untuk sekali pakai. Jadi Meskipun alat dirancang kokoh agar tidak terbawa longsor, terbawa longsor pun yang paling penting bunyi sirine dari alat ini sudah memberi informasi secara cepat ke masyarakat sekitar” tandasnya.