Kepedulian mahasiswa dan generasi muda akan penderita difabel semakin meningkat. Kepedulian mereka tersebut ditunjukkan dengan membantu mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh penderita difabel. Dan satu lagi tim dari kalangan mahasiswa yang menunjukkan kepedulian tingginya pada penderita difabel tersebut.
Shofia Chairunnisa, Retno Wulandari, Yovi Cajapa Endyka, Amalia Rahmawati dan Desy Octafiyani, kelima mahasiswa Hukum dan Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) inilah yang ikut andil dalam mengatasi permasalahan penderita difabel. Melalui program pendampingan yang bertemakan “PENA-SARAN: Pelatihan dan Pembinaan Kesusastraan Jawa dan Kerajinan Tangan Bagi Anak Berkebutuhan Khusus Di Kota Yogyakarta”, kelimanya mencoba melatih soft skill untuk penderita difabel Tuna Grahita dan Autis di Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri 1 Yogyakarta.
Yovi Cajapa Endyka, salah seorang anggota tim mengatakan, pelatihan yang mereka berikan pada penderita Tuna Grahita dan Autis tersebut terbagi dalam dua macam, yakni pada bidang Kesustraan Jawa dengan melatih mereka untuk melakukan Pantomim dan Menulis. Sedang untuk kerajinan tangan, mereka dilatih untuk melukis dan merunce, membuat kerajinan tangan seperti bros, bunga, kalung, dan gelang dari manik-manik.
“Ada 20 peserta didik yang ikut dalam pelatihan ini, baik itu dari penderita Tuna Grahita kecil, sedang, dan berat, serta dari penderita Autis. Untuk peserta didik autis, kami fokuskan pada latihan Kesustraan Jawa dengan menulis. Sedangkan untuk peserta didik tuna grahita ringan, kami latih untuk mengekspresikan seni itu melalui gerakan pantomim. Kemudian untuk kerajinan tangan sendiri, ini juga diikuti oleh dua kelompok dari mereka, baik itu peserta didik autis atau pun tuna grahita, tergantung pada sisi mana mereka memiliki ketertarikan dan kelebihan,” jelas Yovi, saat ditemui di Biro Humas UMY pada Selasa (12/5).
Latihan yang mereka berikan pada peserta didik difabel tersebut, menurut Yovi juga berkala, yakni setiap tiga kali seminggu. Yovi bersama timnya pun masih akan tetap melanjutkan memberi pelatihan hingga bulan Juni 2015 mendatang, sebelum diadakannya Monitoring dan Evaluasi dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) RI. “Program pelatihan ini sebenarnya sudah berjalan sejak bulan Februari 2015 yang lalu. Tapi masih akan tetap dilanjutkan hingga menjelang Monev dari Dikti pada bulan Juni besok. Karena program kami ini termasuk Program Kreativitas Mahasiswa bidang Pengabdian Masyarakat (PKM-M) jadi harus tetap dilakukan hingga Monev Dikti tiba. Dan saat ini, untuk program ini sudah berjalan 70 persen,” ujarnya, mewakili keempat temannya.
Yovi juga memaparkan, bahwa sebenarnya ketertarikan mereka untuk lebih peduli pada penderita difabel tersebut, sehingga mengadakan pelatihan itu lantaran peserta didik tuna grahita dan autis tersebut berbeda dengan penderita difabel lainnya. Jika penderita difabel lainnya tidak memiliki masalah dalam hal mental dan emosi, maka tuna grahita dan autis justru masalah yang dimilikinya terletak pada mental dan emosi. “Karena itu, penderita tuna grahita dan autis ini sulit untuk diajak berkomunikasi. Sementara itu, kami juga ingin agar mereka ini bisa produktif dan komunikatif seperti orang lain pada umumnya. Jadi, berawal dari keprihatinan kami pada kondisi tuna grahita dan autis inilah, kami mencetuskan ide untuk membantu mengatasi masalah komunikasi mereka dengan mengadakan program pendampingan dan latihan ini. Tujuannya tidak lain adalah agar mereka bisa lebih produktif dan komunikatif,” paparnya.
Namun, lanjut Yovi lagi, memberikan pelatihan kesusastraan dan kerajinan pada penderita tuna grahita dan autis tersebut, bukan hal yang mudah. Sebab pada awal mula mereka memulai program pendampingan tersebut, mereka masih belum bisa diterima dengan baik oleh peserta didik. Karena itulah mereka berlima harus mencari cara agar bisa diterima dan program pendampingan pun bisa berjalan baik. “Akhirnya, setiap kali akan memulai sesi pelatihan, kami terlebih dahulu harus mengajak mereka untuk melakukan senam, kemudian bermain dan menyusun rubi. Baru setelah itu kami memberikan pelatihan pada mereka. Tapi, jika di tengah-tengah pelatihan mereka mulai merasa bosan, kami akan langsung mengajak mereka bermain lagi, sampai akhirnya mau diajak berlatih lagi,” imbuhnya.
Sementara itu, Shofia Chairunnisa menjelaskan ada dua metode yang dilakukan mereka dalam melakukan pelatihan tersebut. Metode pertama mereka namakan dengan “berkarya dengan segala keterbatasan”. Dalam hal ini, setiap peserta didik yang memiliki kebutuhan khusus tersebut diharuskan membuat aksesoris dan melukis sebanyak satu lukisan setelah empat kali pertemuan di kelas melukis dan membuat dua aksesoris setelah tiga kali pertemuan di kelas kerajinan tangan. “Kemudian metode kedua yakni mengolah sastra dengan segala keterbatasan. Pada metode kedua ini, kumpulan sastra dari para sahabat berkebutuhan khusus akan dipilah dan dpilih untuk dibukukan pada akhir program, sehingga karya mereka mampu berwujud nyata,” jelasnya.
Pada akhir program, menurut Shofia juga akan diadakan pameran dari hasil karya peserta didik berkebutuhan khusus itu. Pameran di akhir program tersebut bertujuan untuk menjadi tolak ukur sukses tidaknya program Pena-saran. Diharapkan dengan adanya pameran di akhir program ini dapat mejaring mitra atau networking yang semakin luas bagi para penyandang kebutuhan khusus di kota Yogyakarta. “Kami juga berharap, karya seni dan tulisan para sahabat berkebutuhan Khusus bisa dimuat di surat kabar daerah ataupun nasional. Karena selama ini rasanya masih sangat sedikit sekali tulisan para sahabat berkebutuhan khusus yang dimuat di media sehingga para sahabat berkebutuhan khusus kekurangan wadah untuk menyampaikan aspirasinya. Dan juga semoga sahabat berkebutuhan khusus menjadi semakin termandirikan dengan adanya program ini, sehingga setelah program ini selesai sahabat berkebutuhan khusus bisa tetap produktif dan memiliki bekal keterampilan. Dengan begitu, mereka pun tidak akan dipandang sebelah mata lagi,” tutupnya.