Dalam hubungannya dengan luka, hal yang diharapkan orang adalah mencapai penyembuhan yang cepat, berfungsi optimal dan hasil bagus. Penyembuhan luka merupakan proses usaha untuk memperbaiki kerusakan jaringan. Luka ini umumnya disebabkan adanya trauma benda tumpul atau tajam, sengatan listrik, ledakan, maupun gigitan hewan. Penemuan agen penyembuh luka yang efisien dan efisien diperlukan untuk mempercepat proses penyembuhan luka. Salah satu agen tersebut adalah chitosan yang ternyata efektif mempercepat proses epitelisasi, kolagenisasi, menghentikan perdarahan, dan mencegah infeksi.
Demikian disampaikan salah seorang tim peneliti, Aditiya Pramudya W, di Kampus Terpadu, Rabu (22/9) saat memaparkan hasil penelitian timnya mengenai engaruh salep Chitosan terhadap penyembuhan luka eksisi pada tikus putih. Selain Aditiya, dalam tim penelitian tersebut terdiri dari empat mahasiswa Kedokteran Umum lainnya, yaitu Rizqi Afrian, Barii Hafidh Pramono, Fitri Rizkia Putri, dan Arian Surya.
Dengan penggunaan salep chitosan, Aditiya mengungkapkan, timnya menemukan fakta bahwa salep tersebut mampu menyembuhkan luka dengan waktu lebih cepat dibanding dengan salep tanpa chitosan. Salep chitosan juga menghasilkan penyembuhan yang kuat karena mampu menebalkan kolagen sehingga kulit tidak mudah iritasi kembali. “Sementara itu, penggunaan salep chitosan menghasilkan jumlah fibroblas paling sedikit. Hal ini menunjukkan chitosan telah menghasilkan penyembuhan sempurna karena semakin sempurna penyembuhan suatu luka, semakin sedikit jumlah fibroblasnya. Oleh karenanya, ini juga menjadikan luka tidak berbekas,” jelasnya.
Menurut Aditiya, prevalensi masyarakat untuk menderita luka terbuka sangat tinggi. Namun dalam pengobatannya, kebanyakan dari mereka menggunakan antiseptic yang membutuhkan waktu lama dan belum sempurna. “Untuk itu, penelitian ini berupaya mengembangkan salep yang mampu menyembuhkan luka dengan waktu lebih cepat dan efektif, salah satunya dengan memanfaatkan Chitosan,” urainya.
Lebih lanjut, Aditiya menjelaskan Chitosan merupakan turunan kitin yang berasal dari cangkang kepiting atau udang. Melalui proses deprotenisasi, maka cangkang tersebut diolah menjadi kitin hingga akhirnya menjadi chitosan. Dipilihnya chitosan karena sebagai negara maritim, Indonesia memiliki hasil laut, termasuk kepiting yang melimpah. “Saat ini banyak masyarakat yang hanya memanfaatkan daging kepiting ataupun udang, sementara mereka membuang cangkang. Akibatnya cangkang hanya menjadi limbah dan tak terpakai. Jika memanfaatkan hasil limbah ini maka selain cepat dan efektif, salep dari chitosan ini juga ekonomis karena menggunakan bahan yang mudah dijumpai di negeri ini,” paparnya.
Sebagai salep, chitosan juga tidak berbahaya ketika tertelan atau tercampur dalam makanan. lantaran ada proses demineralisasi maka salep ini juga tidak berbau amis meski terbuat dari hasil laut,” imbuh Aditiya.