Seorang wartawan foto bertugas untuk menghasilkan foto yang bercerita. Foto bercerita yang dimaksud adalah foto yang bisa menyampaikan pesan yang tersirat dalam foto tersebut. Wartawan foto memang dihadapkan pada sebuah moment yang dinamis. Walau demikian, dalam menghasilkan karya tersebut, seorang wartawan foto dilarang melakukan manipulasi terhadap hasil fotonya. Karena hal itu sama saja dengan tidak menampilakan cerita sesungguhnya dan bisa termasuk perbuatan membohongi publik. Contoh manipulasi foto yakni dengan menambahkan objek dalam yang dibuatnya agar foto tersebut tampak bercerita. Oleh karena itu upaya memanipulasi dalam foto adalah hal yang tabu dalam fotografi jurnalistik.
Demikian diungkapkan oleh Fergananta Indra, Jurnalis Foto, yang menjadi pembicara dalam Workshop Fotografi Jurnalistik yang diselenggarakan oleh mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (IK-UMY) bertempat di Mini Teater, Kampus terpadu UMY, Sabtu siang (31/7).
Untuk mendapatkan hasil foto yang memuaskan, wartawan foto harus menguasai alat tempurnya yakni kamera. Jangan sampai ketika bertugas masih dibingungkan oleh anatomi kamera. “Kamera bagi seorang wartawan foto itu laksana Handphone, kita bahkan tidak perllu melihat layar ketika mengetik SMS, karena kita sudah tahu detail HP tersebut,”urainya.
Menurut Fergananta, kamera tidak harus selalu Digital Single-Lens Reflex (DSLR), yang penting adalah wartawan tersebut menguasai kompisisi objeknya. Fergananta juga melihat bahwa penguasaan tehnik merupakan hal penting dalam menghasilkan karya. Persentase pengaruh penguasaan tehnik dalam menghasilkan foto yang bagus bisa mencapai 50%-60 %. Namun menurutnya ada satu hal yang juga sangat penting di miliki oleh seorang wartawan foto yakni Sense of News. Wartawan foto tersebut harus memiliki insting yang kuat untuk melihat sisi lain dari sebuah moment. “Wartawan foto tersebut harus punya naluri bagaimana menciptakan foto yang bercerita tadi,”urainya.
Namun penguasaan tehnik fotografi dan sense of news juga harus di dukung dengan kemampuan lobi yang kuat. Biasanya wartawan foto harus melobi objek untuk di foto. Kadang di Instansi tertentu ada larangan untuk memoto. Hal ini terkait dengan kode jurnalistik, wartawan foto harus mematuhi peraturan tempat dia sedang bertugas. “Jadi, jangan memotret jika dilarang memotret,”ungkapnya.
Menurut Fergananta, foto jurnalistik bisa mempunyai kekuatan yang luar biasa untuk mengubah dunia. Ia mencontohkan salah satu foto hasil karya seorang wartawan foto salah satu media cetak di Indonesia, foto seorang gadis kecil yang terkapar pada saat demonstrasi reformasi 1998. Pada saat itu, foto tersebut dapat menumbuhkan semangat para mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya untuk melewan rezim orde baru pada saat itu. “Foto jurnalistik juga mampu memberikan pengaruh pada proses pengambilan kebijakan oleh pemerintah,”tandasnya.