Berita

Manusia Harus Jaga Keharmonisan dengan Alam

img_9187

Alam dan manusia memiliki kesamaan yakni merupakan makhluk ciptaan Tuhan. Sebagai sesama makhluk, sudah seharusnya manusia dapat menjaga hubungan harmonis dengan alam dengan cara merawat dan menjaga lingkungan, dan tidak merusaknya.

Dalam kuliah umum “Etika Lingkungan di Jepang” pada Sabtu (17/09), Aoki Takenobu, Ph.D., dosen tamu UMY dari Chiba University, Jepang menjelaskan bahwa masyarakat Jepang percaya bahwa setiap benda memiliki jiwa. Berdasar pada kepercayaan itulah, masyarakat Jepang menjadi semakin menghormati alam dan lingkungan yang ada di sekitar mereka.

Dalam kuliah yang dihadiri oleh mahasiswa Fakultas Pertanian tersebut, Aoki menjelaskan tentang tiga keyakinan yang dianut oleh kebanyakan masyarakat Jepang, yakni Shinto, Buddha dan Konfusianisme. Meskipun tiga kepercayaan berbeda, tetapi pola pemikiran ketiga kepercayaan tersebut memiliki kesamaan dan hampir tidak dapat dibedakan.

“Penganut Shinto memiliki 1.000 dewa. Setiap hal itu ada dewanya, seperti dewa padi, dewa ilmu, dan lain-lain. Penganut Budha percaya bahwa setiap makhluk punya jiwa. Jadi tidak ada perbedaan antara manusia dengan hewan atau tumbuhan. Penganut konfusianisme percaya tentang prinsip langit dan manusia. Ketiganya memiliki kesamaan yakni saling menghargai benda-benda dan lingkungan yang ada di sekitarnya,” jelas Aoki.

Aoki juga membandingkan etika lingkungan negara-negara Barat dengan negara Jepang. Ia menyebut bahwa patokan etika negara barat adalah hak (right) dan demokrasi. Hal ini dimaknai bahwa setiap manusia memiliki hak dan juga memiliki kebebasan untuk memanfaatkan alam,. “Sehingga manusia merasa bahwa manusia menguasai atau mengatur alam. Sehingga bila ada bencana, maka yang difikirkan bukanlah penyebabnya tetapi penyelesaian secara rasionalnya,” ujar Aoki.

Sedangkan di Jepang, prinsip etika yang dianut adalah kewajiban dan kerukunan. Kerukunan antara manusia dan alam, dan menyadari ekosistem itu merupakan kewajiban manusia. “Manusia dan hewan maupun tumbuhan itu harus ada kerjasamanya. Itu yang membuat petani-petani di Jepang amat menyayangi tanaman yang mereka tanam. Makanya jangan heran kalau melihat petani yang bahkan seperti berbicara dengan tanaman,” ungkap Aoki.

Dosen yang fasih berbahasa Indonesia tersebut menerangkan bahwa prinsip di dalam Islam memiliki kesamaan di dalam prinsip yang dianut oleh masyarakat Jepang. Prinsip yang dimaksud merupakan prinsip Mottainai atau prinsip sayang. “Dalam bahasa Jawa bisa disebut eman-eman. Islam pun memiliki pendapat bahwa sifat boros dan membuang-buang itu bagian dari setan. Di Jepang masyarakatnya juga sangat menghargai dan merawat benda-benda mereka, dan ini yang disebut mottainai,” tutur Aoki.

Di samping itu, Dosen Pertanian UMY, Gatot Supangkat S., MP. setuju dengan konsep untuk menyayangi lingkungan. Islam-pun selain mengharuskan kita melakukan hubungan dengan Allah dan manusia, tetapi juga harus menjaga hubungan dengan Alam. “Ketika tiga hubungan dengan Allah, sesama manusia dan alam kita jaga, maka kehidupan akan bisa menjadi harmonis. Ukuran seberapa manusia berhubungan baik dengan Allah dan manusia lainnya itu ukurannya seberapa baik ia berhubungan dengan alam,” jelas Gatot.

Dosen pertanian tersebut juga menjelaskan bahwa manusia boleh memanfaatkan alam asal tidak sampai kepada tindakan eksploitatif atau merusak. Dalam surat Ar-Rum, disebut Gatot, sudah dijelaskan bahwa kerusakan di darat dan di laut itu akibat ulah manusia. “Oleh karenanya manusia harus mulai menjaga alam. Karena semua perbuatan itu akan ada akibatnya. Faman ya’mal mitsqoola dzarrotin khoiran yaroh. Wa man ya’mal mitsqoola dzarrotin syarron yaroh. Sederhananya, kalau tidak mau mencubit jangan mencubit. Kalau tidak ingin lingkungan rusak, maka jangan merusak,” tegas Gatot. (deansa)