Menjelang 20 Oktober 2024, kini Indonesia sedang menghadapi situasi transisi pemerintahan Presiden Joko Widodo kepada presiden terpilih yakni Prabowo Subianto. Namun, di masa transisi tata kelola pemerintahan ini dapat dikatakan menjadi masa krusial yang mampu berdampak pada sektor ekonomi dan juga sosial.
Menanggapi isu tersebut, Kesatuan Program Studi Ilmu Pemerintahan Indonesia (KAPSIPI) dan Asosiasi Dosen Ilmu Pemerintah Seluruh Indonesia (ADIPSI) 2024 – 2027 menggelar seminar nasional dengan tema “Tantangan Transformasi Tata Kelola Pemerintahan dan Dampaknya Pada Sektor Ekonomi dan Sosial” pada Jumat (18/10) di Ruang Sidang AR Fachruddin A Lantai 5 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).
Faktanya, pada masa transisi pemerintahan ini Indonesia sedang menghadapi proses paradoks era Prabowo – Gibran. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Prof. Dr. Zuly Qodir, M.Ag selaku Guru Besar Sosiologi UMY bahwa adanya paradoks moral – etik penyelenggara institusi negara di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto perlu disoroti.
Menyoroti paradoks tersebut, memunculkan gaya hidup hedonisme kelas kakap. Sehingga timbul sikap konsumtif oleh penyelenggara dan pemegang institusi negara bahkan lembaga politik. Zuly menyatakan paradoks ini jelas terasa yang dibuktikan dengan angka kemiskinan yang semakin meningkat bahkan untuk mengenyam pendidikan tinggi juga sulit dijalani oleh masyarakat Indonesia. Kedua, munculnya fenomena politisi “rabun ayam” dan pendendam pada lawan politiknya. Ketiga, adanya fenomena jual beli gelar akademik hingga jabatan fungsional.
“Bahkan sekarang banyak ditemui munculnya makelar politik yang digunakan hanya untuk kepentingan pribadinya. Tentu hal ini menjadi permasalahan yang besar dan dapat mempengaruhi stabilitas negara kita,” tegas Zuly.
Sejalan dengan Zuly, Ketua umum ADIPSI Dr. M. Nur Alamsyah, S.IP., M.Si menyatakan polaritas tersebut menyebabkan pemerintah melupakan esensi tata kelola pemerintahan melainkan hanya fokus kepada kekuasaan semata. Salah satu dampak nyatanya ditunjukkan dengan adanya tingkat kasus korupsi di Indonesia yang belum menyurut. Nur menegaskan bahwa korupsi di Indonesia bukan hanya tentang uang, tetapi juga dengan wewenang.
“Legitimasi dalam penata kelolaan pemerintah di Indonesia bisa dikatakan tidak jelas sehingga mengaburkan banyak aspek yang seharusnya bisa menjadi ruang dalam pengendalian korupsi. Korupsi bukan hanya lahir dari penyalahgunaan uang, tetapi yang paling parah adalah penyalahgunaan wewenang,” tandas Nur. Walau dengan demikian, Nur merasa para penyelenggara negara sudah kehilangan empati dan kesadaran untuk tidak terlibat dalam konflik kepentingan yang baru-baru ini marak terjadi.
Selain itu, Ketua ADIPSI ini menyebutkan permasalahan tata kelola pemerintahan di Indonesia juga selalu bermasalah dengan hubungan dan komunikasi antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah. Hal tersebut nantinya juga akan menjadi permasalahan utama bagi Presiden Prabowo Subianto dengan Gibran Rakabuming Raka selaku Wakil Presiden terpilih.
“Otonomi daerah nampaknya sekarang sudah mulai ‘dibajak’, karena semua hal yang ada di daerah ditentukan oleh pusat bukan dengan daerahnya sendiri. Ini menjadi satu masalah yang membawa kesenjangan secara tidak langsung,” tambahnya.
Fenomena kesenjangan ini ditunjukkan dengan adanya pertumbuhan setiap daerah yang tidak signifikan. Ketika merujuk pada indeks pembangunan daerah, beberapa daerah tidak stabil dalam pencapaian indeks tersebut bahkan mengalami kemunduran dalam pembangunannya seperti contohnya pada Gorontalo. Namun, banyak juga daerah di Indonesia yang mengalami kemajuan.
“Ketika setiap daerah di Indonesia tidak bertumbuh secara bersama-sama, hal ini dapat menimbulkan kesenjangan yang saat ini masih terus diproduksi oleh bangsa kita,” ucapnya.
Ia pun berharap Indonesia bisa segera berbenah untuk menyambut dan mewujudkan kehidupan masyarakat untuk menjadi lebih baik dengan kontekstualisasi global yang ada saat ini.
“Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah harus memberikan solusi konkrit untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Memberikan solusi dengan tetap memperhatikan aspek bahwa setiap warga negara berhak untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, sesuai dengan UUD 1945,” tutupnya. (NF)