Bencana alam kembali menimpa Indonesia, kali ini Tsunami dan gelombang besar menyapu Selat Sunda. Pandeglang Banten dan Lampung Selatan menjadi yang terdampak pada 22 Desember 2018. Ini seperti sebuah rentetan bencana alam yang terjadi Indonesia, pasalnya sebelum ini dalam lima bulan terakhir ada dua bencana alam besar lainnya, yakni Tsunami Palu Sulawesi Tengah dan gempa bumi Lombok NTB yang sudah memakan banyak korban. Dalam hal ini masyarakat Indonesia dihantui pertanyaan seberapa besar potensi bencana alam terjadi di Indonesia.
Tak jarang pula tindakan keliru terjadi, sehingga bukannya menemukan solusi justru menambah runyam situasi. Sri Atmaja P. Rosyidi, ST., MSc.Eng., Ph.D., PE pakar transportasi, energi dan lingkungan dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta memaparkan hal tersebut dalam Refleksi AKhir Tahun 2018 dan Outlook 2019 Program Pascasarjana UMY, pada Sabtu (29/12). Dalam kegiatan yang bertemakan Sebuah Catatan Perjalanan Bangsa di Ruang Sidang Direktur Pascasarjana UMY, Kampus Terpadu UMY tersebut, Sri menyampaikan materi tentang Strukturalisasi Penyadaran Bencana Holistik ‘Membaca Kebencanaan untuk Pembelajaran Pengurangan Resiko’.
Untuk mencegah sebuah bencana sangat mustahil baik itu gempa bumi, Tsunami, gunung meletus dan yang lainnya. Sekarang adalah mencari solusi agar ketika bencana itu datang korban yang terdampak dapat diminimalisir atau kalau bisa tidak menimpa korban jiwa. Salah satunya dengan mencari formula bersama untuk membuat sebuah perencanaan gedung yang tak mudah runtuh dan senantiasa aman dari bencana.
“Sebenarnya gempa itu tak selamanya membuat orang meninggal dan merasa bahaya, justru gedung-gedung yang ada lah yang dapat menimbulkan terjadinya korban jiwa. Jadi jangan salahkan bencananya, tetapi mulai dengan infrastruktur yang bisa mencegah jatuhnya banyak korban. Seperti contohnya kita juga harus sadar jangan membangun sesuatu misal perumahan di atas bantaran sungai, karena itu sama saja mendekatkan pada bencana. Edukasi mengenai kebencanaan harus ditanam sejak dini, karena di Indonesia belum ada mata pelajaran yang membahas penanggulangan kebencanaan sejak usia dini seperti yang baru dicanangkan Mendikbud meski sangat terlambat,” papar Sri Atmaja.
Tak hanya itu, masih banyak pula aspek lainnya yang kemudian menjadi kekeliruan informasi dalam menyikapi bencana yang terjadi di Indonesia, seperti saat terjadi gempa bumi Lombok pada 5 Agustus 2018 dimana masyarakat sekitar mengaitkan bencana dengan mitos bahwa gunung Rinjani sudah tak suci lagi.
“Saya hampir 10 hari berada di Lombok pasca gempa bumi terjadi, di situ rupa-rupanya ketika sebuah penyadaran kebencanaan terlambat, yang muncul adalah sisi sosial spiritual yang melenceng, seperti munculnya mitos. ‘Mengapa terjadi bencana di Lombok?’ Sebagian dari mereka beranggapan gunung Rinjani sudah tidak suci lagi, karena menurut orang dulu orang yang mendaki Rinjani harus orang suci, sekarang banyak orang asing datang ke sana. Kita tidak bisa menyalahkan mitos itu, karena terjadi keterlambatan penyadaran mengenai informasi bencana,” papar Direktur Pascasarjana UMY ini lagi.
Kemudian dari fakta ini bisa ditarik benang merah mengenai keterlambatan penyadaran mengenai bencana alam, yang kembali terulang pada bencana di Pantai Anyer, Banten. Sri Atmaja meyakini jika dari otoritas berwenang sudah menyadari aktifitas dari gunung Anak Krakatau, dan memberikan himbauan untuk menjauhi daerah rawan bencana maka korban yang jatuh tidak akan lebih dari 400 orang. “Ketika gunung Anak Krakatau sudah menunjukkan aktifitasnya, harusnya sudah ada peringatan secara struktural. Saya yakin jika sudah ada himbauan terlebih dahulu tidak akan mungkin terjadi 400 korban jiwa melayang. Tapi faktanya galakkan kunjungan ke pantai menjadi sebuah program, karena menambah pendapatan daerah,” imbuhnya. (Habibi)