Berita

Masih Rendahnya Tingkat Penggunaan Energi Terbarukan di Masyarakat

Tingkat penggunaan energi terbarukan di kalangan masyarakat dinilai masih rendah. Hal ini disebabkan sosialisasi dari institusi pemerintah maupun pendidikan terkait pemanfaaatan energi terbarukan masih kurang.

Tingkat penggunaan energi terbarukan di kalangan masyarakat dinilai masih rendah. Hal ini disebabkan sosialisasi dari institusi pemerintah maupun pendidikan terkait pemanfaaatan energi terbarukan masih kurang.

Demikian disampaikan Peneliti dari Pusat Studi Pengelolaan Energi Regional-Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (PUSPER-UMY), Ir. Saibun pada saat launching ‘Digester Biogas Skala Rumah Tangga 9m³ Tipe Fixed Doom’ di Desa Potorono, Banguntapan, Bantul Selasa (22/6) siang.

Lebih lanjut Saibun menuturkan kurangnya sosialisasi adanya energi terbarukan tersebut menyebabkan masyarakat enggan untuk menggunakan bionergi. “Di kalangan masyarakat masih merasa bahwa investasi untuk pemakaian energi terbarukan masih mahal, selain itu seringkali tenologi tepat guna yang dikenalkan kepada masyarakat mengenai penggunaan energi terbarukan terlalu merepotkan. Misalnya dalam proses pembuatan biogas dari kotoran ternak, masyarakat masih harus mengangkut kotoran ternak ke lokasi (digester), belum lagi api yang dihasilkan kurang maksimal, dan lainnya,”jelasnya.

Sehingga pemerintah harus meningkatkan sosialisasi mengenai energi terbarukan kepada masyarakat. “Institusi pendidikan juga perlu menjembatani antara masyarakat dengan stakeholder yang mendukung pemanfaatan bionergi. Adanya sosialisasi tersebut akan membuat masyarakat tahu mengenai energi terbarukan. Jika nantinya Bahan Bakar Minyak (BBM) langka maupun listrik naik, masyarakat tidak kaget lagi karena ada energi terbarukan yang mampu menggantikan fungsi dari BBM tersebut,”urainya.

Terkait dengan energi terbarukan khususnya biomassa terutama biogas, dalam pemaparannya di Yogyakarta mempunyai potensi besar pada sumber biogas. “Daerah-daerah di Yogyakarta memiliki potensi besar untuk sumber biogas yang berasal dari peternakan, pertanian serta limbah sampah,”tuturnya.

Salah satunya yaitu Desa Potorono di Kecamatan Banguntapan, Bantul. Menurut Saibun di desa tersebut banyak peternakan sapi dimana kotoran ternak tersebut belum dimafaatkan secara maksimal.

“Kotoran sapi tersebut seringkali hanya dibuang sembarangan sehingga menimbulkan polusi udara karena baunya yang cukup menyengat Padahal dari kotoran sapi tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sumber biogas. Melihat hal tersebut kemudian PUSPER bekerja sama dengan Fakultas Pertanian, Teknik, dan Ekonomi UMY serta Technische Universiteit Eindhoven, Belanda melalui Indonesia Facility Project menjembatani pembuatan digester fixed doom agar masyarakat dapat memperoleh kemanfaatan biogas dari kotoran sapi tersebut,”tuturnya.

Saibun menambahkan, dengan menggunakan biogas dari kotoran sapi tersebut masyarakat akan memperoleh berbagai keuntungan mulai dari gas yang dihasilkan dan pupuk organik sisa dari pengambilan gas tersebut. “Selain itu kandang peternak juga menjadi lebih bersih, lingkungan juga bebas polusi udara, masyarakat juga akan memperoleh tambahan penghasilan dari menjual pupuk organik,”tambahnya.

Kelebihan dari penggunaan digester fixed doom sendiri diuraikan Saibun memiliki kelebihan dibandingkan digester jenis lainnya. “Penggunaan fixed doom  lebih tahan lama, memiliki tekanan yang rendah dan suhu lebih stabil sehingga produksi gas yang dihasilkan lebih stabil. Sedangkan tipe yang lain tidak tahan lama, memiliki tekanan yang kuat, suhu tidak stabil sehingga produksi gas tidak stabil. Selain itu pada tipe fixed doom lokasi atau lahan diatasnya masih bisa dipakai atau dimanfaatkan karena desainnya yang diletakkan di dalam tanah. Sedangkan tipe lainnya tidak bisa karena didesain di atas tanah.”pungkasnya.