Malaria merupakan penyakit protozoa yang ditularkan oleh gigitan nyamuk Anopheles yang sudah terinfeksi, penyakit ini bisa disebut juga dengan penyakit parasit manusia. Tak sedikit pula manusia yang meninggal akibat terkena penyakit ini, hal ini terlihat di 103 negara sudah ada 300 juta kasus akut setiap tahunnya yang disebabkan oleh malaria. Hampir semua kematian disebabkan oleh malaria falciparum. Berasarkan hasil survey masyarakat selama 2007-2010, prevelensi malaria di Indonesia mengalami penurunan dari 1,39% ke 0,6%. Di Indonesia ada beberapa daerah yang banyak ditemukannya kasus malaria, contohnya di Indonesia Timur lebih tepatnya yaitu Papua Barat sebanyak 10,6%, Papua 10,1 persen, dan Nusa Tenggara Timur (4.4%). “Akibat banyaknya kasus yang terjadi pada penyakit malaria, maka dari itu perlu adanya pengenalan gejala-gejala yang timbul dari malaria, dengan mengetahui gejala-gejala yang muncul tentu sangat memudahkan untuk mendiagnosis pasien yang terkena gejala malaria,“ terang dr. Faizal Heryono Sp. PD, ketika memberikan materi kepada ke 24 Peserta ITMSS pada hari Selasa (11/8) di Ruang Amphiteater Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Kegiatan ITMSS yang melibatkan mahasiswa kedokteran dari 13 negara ini akan berlangsung hingga 19 Agustus 2015.
Dosen Fakultas Kedokteran dan ilmu Kesehatan (FKIK) UMY ini menambahkan bahwa, ada gejala-gejala umum dalam penyakit malaria antara lain yaitu kelelahan, tidak enak badan, menggigil, nyeri sendi, nyeri otot, demam, dan berkeringat. Bisanya, serangan klasiknya dimulai dengan menggigil terlebih dahulu yang berlangusng selama 1-2 jam dan kemudian diikuti dengan demam tinggi. “Sedangkan gejala yang kurang umum yaitu gangguan pada pola makan, lesu, mual, muntah, diare, dan sakit kepala, “ tambahnya.
dr. Faizal juga memaparkan, salah satu cara lain mendeagnosis malaria yaitu dengan diagnosis parasitology, diagnosis ini dilakukan dengan menggunakan mikroskop atau dengan Rapid Diagnoses Test (RDT). “Namun, diagnosis parasitology ini memiliki pengecualian atau pertimbangan. Artinya, tidak semua pasien atau kasus bisa menggunakan diagnosis parasitology. Pengecualian ini di berikan bagi pasien yang memiliki kasus malaria berat, anak-anak yang berumur 5 tahun, dan wanita hamil. Jadi, pasien yang terindikasi 3 pengecualian harus menggunakan cara lain untuk bisa mendiagnosis penyakit malaria,“ imbuhnya.
dr. Faizal melanjutkan, bahwa untuk melakukan penyembuhan malaria bagi wanita hamil berbeda salah satunya Doxycycline dan Tetrasiklin ini tidak dapat digunakan untuk wanita hamil dan anak-anak. Sebagai obat penggantinya biasanya para dokter akan menggunakan Clindamycine dengan dosis yang berbeda. “Untuk anak-anak, dosis yang digunakan yaitu 6 mg atau diberikan 3 kali per-hari selama 7 hari dengan dosis maksimum yaitu 300 mg. Sedangkan untuk wanita hamil dosisnya 10 mg diberikan setiap 2 kali sehari selama 7 hari, “ lanjutnya.
Dengan banyaknya dan perbedaan kasus dalam penyakit malaria, maka perlu adanya pencegahan atau deteksi secara dini, untuk itu perlu adanya manajemen dari kasus-kasus yang ada. “Manajemen ini diperlukan untuk mencegah berkembangnya penyakit parah pada malaria, manajemen yang tepat secara tidak langsung dapat mencegah timbulnya penyakit atau infeksi berat. Manajemen yang baik pula dapat mencegah kematian serta mencegah resistensi obat dan mengurangi penularan malaria antar manusia, “ imbuhnya.
Untuk melakukan managemen tersebut perlu adanya dukungan atau perawatan tambahan. dr. Faizal menerangkan perlu adanya Acetaminophen yang digunakan untuk demam dan Fenobarbital digunakan untuk mencegah kejang-kejang. “Ada pula yang harus dihindari antara lain yaitu Antibodi TNF, Dekstran, Hypermmunoglobulin, Allopurinol, Desferioxamine, Pentoxifylline, Heparin, Manitol, Prosklin, Asetisistein, Aspirin, Kortikosteroid, dan Siklosporin, “ tutupnya.
Sementara itu, dr. Afran menjelaskan bahwa cara mendiagnosa penyakit malaria di masing-masing negara berbeda-beda. Contohnya saja di Rusia dan beberapa negara yang lain mendiagnosa pasien dengan menyuruh pasien untuk duduk, sedangkan di Indonesia mendiagnosa pasien dengan menyuruh pasien untuk terlentang. “Dari beberapa cara diagnose yang berbeda-beda inilah kami bisa saling berbagi ilmu dengan masing-masing negara, “ imbuhnya.
Dalam kegiatan ITMSS ini bukan hanya materi tentang penyakit tropis saja yang diberikan pada peserta ITMSS namun, para peserta juga diberi kesempatan untuk melakukan skill lab setelah menerima beberapa materi dari dosen. Pada skill lab kali ini para peserta dibagi dalam beberapa kelompok, dari kelompok tersebut masing-masing diberikan kasus penyakit malaria dengan tingkatan atau diagnose yang berbeda-berbeda. Dalam skill lab tersebut juga diberikan beberapa cara diagnosa. (icha)