Adanya Internet Of Things (IOT) sebagai salah satu akibat dari Revolusi Industri 4.0 selain membawa keuntungan namun juga membawa kerugian tersendiri. Penyebaran hoax, fake messages, fake news dan hal serupa lainnya semakin mudah dilakukan dan banyak bertebaran di dunia maya saat ini. Karena itulah, sudah menjadi sebuah keharusan bagi masyarakat untuk bersikap lebih bijak dalam berinteraksi di dunia maya. Selain itu, dunia maya juga dirasa perlu untuk diregulasi, karena banyaknya hal yang dapat dilakukan oleh manusia di dunia maya tersebut.
Hal itulah yang disampaikan Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika bidang Komunikasi dan Media Massa, Prof. Dr. Henri Subiakto. Pernyataannya tersebut disampaikannya dalam acara Seminar Nasional Komunikasi 2018 “Revolusi Digital dan Masyarakat Multikultural (Kesenjangan, Tantangan dan Peluang), yang diselenggarakan oleh Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), pada Senin (27/8) di Gedung KH. Ibrahim UMY.
Dalam pemaparannya, Prof. Henri menyampaikan bahwa negara Indonesia ini sangat besar, namun dalam kehidupan masyarakatnya masih terjadi pemisahan antara satu dengan lainnya (segregasi). Bahkan kondisi tersebut juga terjadi di dunia maya (media sosial). “Masuknya teknologi internet yang bisa mengubah segalanya ini dapat mengakibatkan permasalahan multikultur, karena kita dapat bertemu dengan orang yang sangat berbeda dari kita. Dan kita semua berkumpul di media sosial sehingga terjadilah keributan-keributan. Padahal kita ini membutuhkan persatuan, bukan perpecahan,” ujarnya.
Oleh sebab itulah, Prof. Henri pun mengimbau kepada masyarakat untuk selalu waspada terhadap penyebaran hoax dan pesan serupa yang bertebaran di media sosial. Untuk mengatasi masalah tersebut, masyarakat harus bijak dan netral dalam memverifikasi pesan yang datang dari dunia maya dengan melihatnya dari berbagai sudut pandang. “Kalau menerima pesan hoax, masyarakat kita sekarang ini cenderung melakukan koreksi pesan dalam ruang lingkup yang sama. Seharusnya bukan hanya di ruang lingkup yang sama. Karena dunia maya itu memiliki algoritma tersendiri yang dapat mengetahui karakteristik kita. Jadi, jika kita mengecek suatu pesan hanya di ruang lingkup yang kita suka saja, maka hal tersebut hanya akan menguatkan pesan yang kita terima. Karena itulah, masyarakat benar-benar perlu untuk diliterasi tentang algoritma dunia maya ini,” paparnya lagi.
Tak hanya itu, Prof. Henri pun menyarankan agar ada regulasi tersendiri yang dikhususkan dalam interaksi dunia maya. Hal tersebut dikarenakan banyaknya hal yang dapat dilakukan oleh manusia di dunia maya. “Zaman sekarang ini kita melakukan bisnis di dunia maya. Mencari teman di dunia maya, bahkan berantem pun di dunia maya. Sehingga dunia maya ini memang perlu diregulasi,” imbuhnya.
Sementara itu Muria Endah Sokowati, S.IP., M.Si selaku ketua panitia dan dosen IK UMY menyimpulkan bahwa, media sosial memang dalam banyak hal memudahkan kita tapi juga membahayakan karena persoalan segregasi yang ada di dunia maya oleh algoritma. “Kebebasan berekspresi di dunia maya berubah menjadi kebebasan untuk membenci sehingga dunia maya perlu di regulasi. Algoritma yang membuat segregasi di masyarakat dunia maya membuat verifikasi pesan hanya dalam satu sudut pandang atau lingkungan yang sama, sehingga hal ini merupakan tantangan bagi kita penggiat komunikasi untuk bisa melakukan upaya-upaya literasi. Saya berharap dengan adanya seminar ini masyarakat dapat lebih aware dan bijak dalam menghadapi Revolusi ini,” ungkapnya. (Pras)