Berita

Masyarakat Jangan Panik Isu MUI Haramkan BPJS

IMG_8019

Pada bulan Juni lalu, masyarakat Indonesia digemparkan dengan isu MUI (Majelis Ulama Indonesia) yang mengharamkan BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan. Banyak masyarakat yang berpandangan negatif terhadap statemen MUI tersebut, pasalnya masyarakat menilai BPJS Kesehatan selama ini menguntungkan pihak masyarakat dengan diberikannya jaminan bantuan keuangan ketika mereka sakit. Namun, masyarakat diharapkan untuk tidak menerima isu tersebut secara mentah-mentah, karena statement yang disampaikan MUI tersebut belumlah berbentuk fatwa, dan masih hasil dari ijtima’ para ulama MUI.

Hal tersebut disampaikan oleh Dr. Khaeruddin Hamsin, LL.M. selaku Direktur ICLASS (International Centre for Law and Sharia Studies) UMY dalam Diskusi terbatas pada Senin (3/8), yang mengusung tema “Kontroversi BPJS : Syariah atau Tidak.” Dalam diskusi tersebut hadir pula dosen Fakultas Ekonomi UMY, Dr. M. Akhyar Adnan, MBA. Dan Dr. Masyhudi Muqarrabin, M.Ec. selaku narasumber. Diskusi yang dihadiri oleh delapan orang dosen dan dua mahasiswa tersebut diselenggarakan di ruang ICLASS UMY, Fakultas Hukum lantai 2. “Diskusi ini merupakan diskusi pertama yang diadakan oleh ICLASS UMY setelah satu tahun berdiri,” terang Iwan Satriawan, SH, M.CL, selaku Wakil Direktur Pengembangan dan Pelatihan Pendidikan ICLASS UMY.

Dr. Masyhudi Muqarrabin, M.Ec. menjelaskan bahwa BPJS Kesehatan dikatakan haram oleh MUI karena ketidak jelasan alokasi dana yang dibayarkan oleh masyarakat. Pada praktiknya, masyarakat diwajibkan membayar premi setiap bulannya, dan akan dapat diambil dana tersebut ketika masyarakat jatuh sakit atau meninggal. Namun pada akad atau perjanjian awalnya, masyarakat tidak diberikan kejelasan kemana dana mereka akan diolah dan dialokasikan, sebelum diambil. “Dengan landasan tersebut, maka MUI mengeluarkan statemen haram terhadap sistem BPJS. Kalau suatu hal sudah dideteksi tidak halal, maka harus segera dikeluarkan fatwanya, supaya masyarakat tau hukumnya. Namun, secara teknis, hal tersebut tidak dapat secara langsung dihentikan dan harus secara bertahap. Tetapi yang jelas fatwanya sudah dikeluarkan,” jelas Dr. Masyhudi.

Dr. Masyhudi juga menambahkan bahwa masyarakat harusnya dipahamkan dahulu dengan syariah, baru hukum dapat diterapkan. Hal tersebut dikarenakan apabila maqosid syariah tidak benar-benar difahami oleh masyarakat, dan hukum langsung diterapkan, maka jalannya hukum tersebut akan kering dan bahkan dapat menggemparkan masyarakat. Ia juga mengusulkan jika pemerintah tidak perlu membuat BPJS versi Syari’ah, namun hanya sistem dari BPJS itu sendiri yang harus diubah dan lebih transparan kepada masyarakat, sehingga masyarakat tahu bagaimana dana mereka diolah.

Hal tersebut senada dengan yang diucapkan oleh Dr. M. Akhyar Adnan, MBA. Ia menerangkan bahwa tidak perlu ada BPJS Syariah, namun sistemnya yang dapat diubah. Ia menjelaskan bahwa sesuatu menjadi haram karena adanya tiga faktor yaitu Maisir, Ghoror dan Riba. “Ghoror adalah ketidakjelasan. Secara konvensional, nasabah tidak diberitahukan kemana dana mereka diputarkan. BPJS juga demikian. Oleh karenanya sejak awal BPJS bukan syariah,” ujarnya.

Ia juga menambahkan bahwa seharusnya MUI dapat mengkomunikasikan hasil ijtima’ secara baik sehingga dapat diterima oleh masyarakat luas. Menurutnya masyarakat menjadi gempar karena faktor sosiologis, yakni berita bahwa MUI telah mengeluarkan fatwa haram terhadap BPJS, padahal hal tersebut bukanlah fatwa MUI melainkan baru hasil ijtima’. “Hal yang positif tapi disampaikan dengan tidak baik maka dapat berpengaruh terhadap pandangan masyarakat,” ujarnya.

Diskusi tersebut kemudian diakhiri dengan usulan kajian lebih detil terhadap sistem perputaran uang di BPJS, dan supaya MUI dapat mengkomunikasikan hasil ijtima’ ataupun fatwa kepada masyarakat dengan baik.

Selaku moderator, Iwan Satriawan, SH, M.CL juga berharap dengan diadakannya diskusi ini dapat mengubah cara pandang dan cara berfikir masyarakat terkait menanggapi isu fatwa MUI. Masyarakat diharapkan dapat lebih bijak dalam menanggapi isu-isu yang hadir dan lebih dahulu mengkaji isu terkait, dan untuk lebih mencermati perbedaan antara fatwa MUI maupun hasil ijtima’ MUI yang berarti belum menjadi fatwa.(Deansa)