Wacana multikulturalisme gunanya untuk mengakomodir gerakan serta merubah pandangan terhadap kalangan minoritas yang sering dijadikan objek dalam pandangan media. Melihat multikulturalisme saat ini di media, semakin hari semakin menyorot suatu kalangan secara sepihak, bahkan kini mulai mengekpos hal-hal yang berujung pada etnis tertentu.
Hal tersebut disampaikan oleh dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Filosa Gita Sukmono, dalam wawancaranya terkait dengan peluncuran buku ajar yang ditulisnya bersama sesama dosen Ilmu Komunikasi UMY, Fajar Junaedi yang berjudul “Komunikasi Multikultur-Melihat Multikulturalisme dalam Genggaman Media.” Selasa (22/04)
Buku ini ditulis karena pengalaman dari penulis saat mengajar tentang multikulturalisme di jurusan Ilmu Komunikasi UMY, ia menjelaskan ide dalam penulisan buku tersebut adalah kerena buku yang membahas tentang multikulturalisme belum ada yang berbahasa Indonesia, sehingga aksesnya hanya terbatas kepada beberapa kalangan saja, selanjutnya juga kerena fenomena media tidak seimbang dalam mengekspos streotip multikulturalisme “Awalnya saya ingin menulis buku ini karena dua hal, yang pertama karena tidak adanya buku yang mengupas tentang komunikasi multikulural dalam bahasa Indonesia, dan yang kedua karena saya melihat dalam gengaman media dalam mengekpos multikulturalisme secara tidak seimbang,” ujarnya.
Filosa juga menjelaskan, maksud dari tidak seimbangnya adalah ketika media mengambil gambar suatu etnis, yang disorot adalah kelemahan dari suatu etnis yang menjadi daya tarik dari penikmat media, atau menyorot kelebihan dari suatu etnis lainnya, Filosa juga mencontohkan suatu iklan publik yang menyorot suku Papua dan Yogyakarta.
“Multikulturalisme dalam gengaman media seringkali mendapat sorotan yang tidak seimbang, walaupun hal itu sebanarnya tidaklah salah. Misalnya saja saat seperti iklan suatu produk minuman, awalnya menyorot kondisi budaya di Yogyakarta yang memiliki budaya yang maju dengan berbagai macam bentuk keseniannya, selanjutnya iklan tersebut juga menyorot kondisi budaya di Papua dengan kondisi yang belum menggunakan pakaian seperti kebanyakan etnis di Indonesia. Sorotan untuk Papua selalu lebih kepada ketertinggalannya, padahal masih banyak hal yang lebih baik di Papua, seperti kondisi alamnya yang eksotis,” kata Filosa mencontohkan.
Filosa melanjutkan, dari buku yang ditulis bersama itu, memberikan wawasan dan pandangan yang berbeda kepada masyarakat bahwa manusia harus bisa menghargai kaum–kaum minoritas. Sehinga wacana multikulturalisme dalam buku ini juga merupakan sebuah gerakan di tengah masyarakat untuk dapat merubah cara padangnya terhadap kaum-kaum minoritas. Selain itu buku tersebut juga memberi ilmu pengetahun kepada masyarakat mengenai bagaimana posisi dan peran multikulturalisme di dalam media. (Shidqi)