Berita

Memperbincangkan Keperawanan, Ketidakadilan Gender

Memperbincangkan keperawanan dewasa ini memang akan menimbulkan perdebatan berkepanjangan. Sebagian orang masih beranggapan bahwa keperawanan adalah satu hal yang sangat sakral, yang seakan-akan ketika seorang perempuan telah kehilangan keperawanannya, maka hidupnya telah hancur. Sedangkan sebagian lain tidak.

Keperawanan bukanlah sesuatu yang relevan untuk diperbincangkan. Apalagi perbincangan masalah keperawanan ini akan mengundang kontroversi karena bias gender. Merupakan ketidakadilan gender jika terus mempertanyakan keperawanan seorang perempuan, sedangkan keperjakaan laki-laki tidak pernah dipertanyakan.

Demikian disampaikan oleh Gugun El Guyanie, S.H.I, penulis buku “Mitos Keperawanan” dalam Bedah Buku dan Diskusi di Kampus Terpadu Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Rabu (10/02).

Dalam acara yang diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Agama Islam UMY ini, hadir sebagai pembedah, Benni Farida Fauziarti, S.Pd.I, aktifis perempuan dan Rijal Ramdani, Wakil Presiden Mahasiswa UMY, dengan Rohmad Gunawan, Ketua BEM FAI UMY sebagai moderator.

Menurut Gugun, bagaimanapun masalah keperawanan diperbincangkan atau diperdebatkan, yang jelas, keperawanan biologis dengan ukuran selaput dara bukanlah menunjukkan kesucian ataupun kehormatan seorang perempuan. Bisa saja selaput dara seorang perempuan rusak karena alasan-alasan lain, seperti kecelakaan atau olahraga keras.

”Dalam budaya Indonesia, khususnya Jawa, yang masih sangat patriarki, keperawanan masih menjadi satu persyaratan yang sulit ditawar ketika seorang laki-laki akan mencari calon istri untuk ia nikahi,” ujar Gugun.

Syarat tersebut dianggap Gugun keterlaluan, karena tujuan pernikahan bukan semata-mata untuk melakukan hubungan suami istri saja. Ada tujuan-tujuan lain seperti melangsungkan keturunan, beribadah, dan lain sebagainya.

Memang ada anjuran Rasulullah SAW untuk menikahi gadis yang masih perawan dengan beberapa alasan, alasan kesuburan, alasan usia, dan lainnya. Tapi bukan kemudian menjadi keharusan untuk menikah dengan perawan, sehingga yang sudah tidak perawan tidak pantas untuk dinikahi.

Sedangkan Rijal Ramdani lebih keras lagi dalam menyampaikan pandangannya. ”Mengapa yang dipertanyakan selalu keperawanan? Lalu, bagaimana dengan keperjakaan seorang laki-laki? Mengapa tidak dipertanyakan? Apakah karena keperjakaan sulit untuk mengukurnya? Sedangkan keperawanan dapat diukur dengan selaput dara, walaupun itu bukan satu-satunya yang menjadi ukuran,” tegasnya.

Rijal juga mempertanyakan bahwa ketika hilangnya keperawanan diartikan karena telah melakukan hubungan intim di luar pernikahan. Lalu bagaimana dengan masturbasi? Atau mungkin berciuman dan berpelukan?

Menjadi problema ketika ada seorang perempuan yang di masa lalunya pernah melakukan hubungan intim dengan seorang laki-laki, lalu ia bertaubat. Apakah ia harus jujur kepada calon suaminya kelak? Padahal, bisa saja jika mengetahui bahwa dirinya sudah tidak perawan lagi, laki-laki tersebut akan pergi meninggalkannya. Sedangkan jika tidak jujur, dikhawatirkan akan menimbulkan masalah yang lebih besar karena mengetahuinya setelah menikah.

Diakui Rijal, memang di tengah gempuran budaya pop dewasa ini, sulit untuk mempertahankan prinsip dan kepribadian. Jika tidak pacaran akan dianggap norak, lalu jika belum pernah berciuman dianggap belum dewasa, dan apabila tidak pernah ke klub malam maka dianggap tidak gaul dan ketinggalan zaman. Namun hanya orang-orang yang bisa mempertahankan prinsipnya yang akan mendapatkan kebahagiaan kelak.

“Cinta atau rasa suka adalah fitrah setiap individu. Jadi menyukai atau mencintai lawan jenis adalah sesuatu yang lumrah, namun bagaimana menyalurkan rasa suka dan cinta itu agar tidak salah jalan. Jangan sampai dengan alasan cinta, keperawanan pun tergadaikan,” imbuh Rijal.