Pembahasan mengenai pantaskah mantan Menteri Sosial Republik Indonesia yaitu Juliari Batubara dihukum mati, masih menjadi perdebatan di kalangan masyarakat. Seperti yang kita tahu bahwa ia didakwa melakukan korupsi dana bantuan sosial penanganan Covid-19, yang tergolong merupakan kejahatan luar biasa. Pakar-pakar hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta membahas hal ini dalam acara webinar ‘Menilik Tindak Pidana Korupsi Pada Masa Pandemi Covid-19’ yang dihadiri dosen, alumni dan mahasiswa, sekaligus memperingati Milad FH UMY yang ke-40, Sabtu (20/3).
Perkara itu diawali dengan adanya pengadaan bansos penanganan covid-19 berupa paket sembako di Kementerian Sosial RI tahun 2020. Pengadaan tersebut bernilai sekitar Rp. 5,9 Triliun, dengan total 272 kontrak dan dilaksanakan pada dua periode. Dalam perkara ini, KPK telah menetapkan 5 orang menjadi tersangka yaitu Menteri Sosial Juliari Batubara, dua PPK Kemensos, Adi Wahyono dan Matheus Joko Santoso, serta dua pihak swasta Ardian Iskandar Maddanatja dan Harry Van Sidabukke.
Juliari menunjuk Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam pelaksanaan proyek tersebut dengan cara penunjukan langsung para rekanan. Dari upaya itu diduga disepakati adanya fee dari tiap-tiap paket pekerjaan yang harus disetorkan para rekanan kepada Kementerian Sosial melalui Matheus. Ketua KPK Firli Bahuri menuturkan untuk fee tiap paket bansos disepakati oleh Matheus dan Adi sebesar Rp10 ribu per paket sembako dari nilai Rp. 300 ribu per paket Bansos.
Sedangkan untuk periode kedua pelaksanaan paket Bansos sembako, Firli berujar bahwa terkumpul uang fee dari bulan Oktober-Desember 2020 sejumlah sekitar Rp8,8 miliar yang juga diduga akan dipergunakan untuk keperluan Juliari. Kemudian muncul perdebatan, pantaskah mereka dijerat dengan hukuman mati, mengingat Covid-19 merupakan bencana Nasional.
Namun Hendri Antoro S.Ag., SH., MH., Kepala Kejaksaan Negeri Pacitan mengatakan bahwa dalam memproses sebuah tindak pidana, tidak serta merta dilakukan tanpa penyidikan yang kuat dan mendalam. “Lembaga penyidik tidak akan bisa berjalan sendiri tanpa dukungan dari masyarakat, akademisi, dan praktisi-praktisi hukum. Upaya tindak pidana korupsi di masa pandemi tidak boleh berhenti sampai di sini. Kasus itu memang menjadi salah satu yang telah membuat resah masyarakat.” ujarnya.
Sementara itu, Mukhtar Zuhdy SH., MH., dosen FH UMY mengemukakan bahwa secara normative sebenarnya mereka yang terjerat tipikor bansos Covid-19 bisa dikenai Pasal 2 UU.Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tipikor, dengan pidana hukuman mati. Namun pada kenyataannya, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) hanya mengajukan Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, untuk disangkakan kepada Juliari dengan hukuman maksimal 20 tahun sampai seumur hidup.
“Padahal sudah jelas mereka mengkorupsi uang penanganan Covid-19 yang merupakan bencana nasional. Tetapi KPK hanya menggunakan Pasal 12 dan Pasal 11 yang notabene merupakan pasal Tipikor pada umumnya. Namun kita tunggu saja langkah KPK selanjutnya, yang menurut Humas KPK sedang mengkaji lebih lanjut terkait potensi pengajuan tuntutan Pasal 2 kepada Juliari.” tutupnya. (Hbb)