Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Republik Indonesia Prof. Dr. Abdul Mu’ti, M.Ed. hadir sebagai pemateri dalam agenda Pengajian Ramadhan 1446 H di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) pada Rabu sore (19/3). Di depan ratusan dosen dan pejabat struktural UMY, Abdul Mu’ti mengingatkan betapa strategisnya kedudukan ilmu di dalam agama Islam. Menurutnya, penting untuk memiliki sifat Ulul Abshar atau menjadi sekelompok orang yang visioner dan berpandangan luas. Ia sekaligus mengajak untuk merefleksikan bagaimana para pelopor di Muhammadiyah menggunakan visi dalam berilmu untuk membangun bangsa.
“Mengapa dakwah yang dilakukan Muhammadiyah dimulai dengan membangun sekolah, karena didasari oleh visi dari Ahmad Dahlan bahwa sebuah bangsa akan maju jika memiliki pendidikan yang baik. Itulah mengapa dua dari empat amal usaha pertama Muhammadiyah adalah di bidang pendidikan dan kesehatan, karena seluruhnya berkaitan dengan pengembangan sumber daya manusia untuk membangun kemajuan bangsa,” ujar Mendikdasmen Abdul Mu’ti.
Sebagaimana dijelaskan di dalam Al-Qur’an, keilmuan dapat mengangkat derajat seseorang dengan kedudukan yang terhormat. Namun secara sosiologis, Mu’ti menjabarkan bahwa makna dari kata seseorang juga dapat diartikan sebagai sebuah bangsa, yang dapat menjadi maju dengan tingginya derajat keilmuan yang dimiliki. Ini dicontohkan oleh Mu’ti dalam konteks dunia modern, dimana negara yang digolongkan ke dalam welfare state adalah negara yang baik secara sistem pendidikan dan keilmuan.
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini pun berpesan kepada seluruh dosen UMY agar senantiasa menyebarluaskan ilmu sebagai salah satu cara untuk bermanfaat bagi orang lain. Kebermanfaatan melalui ilmu memiliki jangkauan yang sangat luas, sebagaimana Mu’ti juga mengingatkan bahwa ilmu adalah amalan yang tidak akan terputus walau setelah meninggal dunia. Menurutnya, Muhammadiyah telah menerapkan konsep berilmu dan beramal dalam konteks kemajuan umat dan bangsa.
“Terdapat dua pandangan yang sejak awal dimiliki oleh Muhammadiyah dalam konsep berilmu dan beramal. Pertama adalah ilmu yang amaliah, atau ilmu yang dapat diamalkan. Kedua adalah amal yang ilmiah, artinya beramal dengan menggunakan ilmu. Ini yang menjadi pondasi Muhammadiyah dalam mengajarkan ilmu yang menjunjung keluhuran akhlak, sehingga setiap individu memiliki kepribadian yang utuh dan tidak terpecah,” imbuhnya.
Ini sekaligus menjadi himbauan dari Mu’ti agar seseorang yang berilmu harus dapat mengaplikasikan dan mengajarkan segala teori yang telah dipelajarinya. Sehingga seluruh ilmu yang telah diamalkan serta pengamalan yang berlandaskan ilmu bermuara kepada semakin meningkatnya keimanan dan ketaqwaan seseorang. Ini yang menurut Mu’ti merupakan pembeda paling mendasar antara orang yang berilmu dengan yang tidak. (ID)