Umumnya, pengobatan bagi para pecandu obat-obatan seperti nikotin (rokok), narkoba dan alkohol membutuhkan waktu yang cukup lama. Selain itu, jika para pecandu itu berobat ke rumah sakit, bukan kesembuhan total yang mereka dapatkan, tapi justru sebaliknya. Karena para dokter itu cenderung memberikan obat lain yang membuat pecandu menjadi kecanduan dengan obat yang diberikan. Dan hal itu tentunya juga karena pandangan bisnis semata.
Karena itulah, Mr. Oliever Marquardt dari Pro Addicta Swiss, menyarankan bagi para pecandu tersebut untuk bisa memilih jalan lain untuk mengobati kecanduannya. Bahkan, kelompok-kelompok masyarakat yang peduli pada mereka juga diharapkan dapat membantu dengan cara lain. Oliever pun memberikan gambaran pengobatan bagi para pecandu yang dilakukan oleh Pro Addicta untuk bisa dipelajari oleh orang-orang di Indonesia. Ia memaparkan hasil dan proses pengobatannya dalam workshop Teknologi Penanganan Pecandu, yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah Tobacco Control Center (MTCC) UMY, di Ruang Sidang Komisi Gedung AR. Fakhruddin A Lantai 5 Kampus Terpadu UMY, Senin (19/5).
Dalam pemaparannya, Oliever mengatakan bahwa cara menstimulasi otak para pecandu dengan menanamkan sugesti bahwa obat-obatan itu berbahaya, bisa dikatakan efektif untuk mengobati para pecandu. Bahkan, dalam waktu 5 hari saja mereka sudah bisa melepaskan dirinya dari kecanduan. “Orang yang kecanduan itu, kalau dia mau sembuh kunci utamanya ada pada dirinya sendiri. Kalau dia mau sembuh, dia harus mulai mengerti dulu bahwa dia bisa hidup tanpa obat-obatan itu. Selain itu, kita tanamkan juga pikiran pada mereka bahwa obat-obatan itu berbahaya bagi mereka,” paparnya.
Selain itu, hal lain yang dibutuhkan untuk melepaskan kecanduan mereka adalah dengan cara memisahkan atau menjauhkan mereka dari tempat-tempat yang memungkinkan mereka untuk mudah mendapatkan barang-barang tersebut. “Para pecandu itu datang ke klinik kami yang memang sudah kami kondisikan khusus untuk menangani para pecandu. Dalam penanganannya juga, kami berusaha memberikan kegiatan lain yang bisa mengalihkan keinginan mereka untuk mengkonsumsi obat-obatan itu. Karena sebenarnya, kecanduan itu penyakit yang ada di dalam otak kita. Jadi harus disembuhkan,” ujarnya.
Di sisi lain, Oliever juga mengakui bahwa upaya pengobatan bagi para pecandu itu juga tidak akan bisa berjalan maksimal, jika si pecandu tidak memiliki keinginan dan kemauan untuk berhenti. Maka perlu ditanamkan sugesti yang berbeda. “Kalau mereka masih belum memiliki keinginan dan kemauan kuat untuk berhenti, langkah selanjutnya sebisa mungkin harus mengangkat kesadaran mereka. Misalkan bagi pecandu rokok, kalau mereka ingin merokok, harus jauh dari orang-orang yang tidak merokok. Karena rokok itu jauh lebih berbahaya bagi perokok pasif. Kemudian terapis juga akan mengganti pikiran mereka, bahwa rokok itu bukan kebutuhan melainkan musuh. Termasuk juga jangan merokok di hadapan anak kecil, sebab mereka mengingat kejadian itu dan ingin mencobanya,” jelasnya. Itulah yang Oliever sarankan, khususnya bagi Indonesia, jika hukum dan pemerintahnya pada kenyataannya belum juga bisa mengontrol banyaknya pecandu rokok.