Berita

MIHI UMY Bahas Strategi Kemajuan Tiongkok

Semenjak berakhirnya Perang Dingin (PD), banyak analisa yang menyebutkan bahwa Amerika Serikat (AS) sebagai Kubu yang menentang Uni Soviet saat itu mengalami kemunduran. Hal tersebut karena AS paska cold war tidak banyak menunjukkan kreatifitas dan inovasi dalam membangun hubungan internasional dalam pergaulan global. Keadaan tersebut kemudian menjadi peluang bagi pihak lain untuk masuk sebagai pemain baru dalam tatanan kekuatan global, salah satunya adalah Republik Rakyat Tiongkok.

Saat ini Tiongkok merupakan salah satu negara yang berkembang secara pesat dan berpotensi meraih status super power. Hal tersebut disampaikan oleh Prof. Dr. Bambang Cipto, M.A. dalam Diskusi dan Bedah Buku “Strategi China Merebut Status Super Power” oleh Magister Ilmu hubungan Internasional (MIHI) pada hari Kamis (27/9) di Ruang Sidang Direktur Gedung Kasman Singodimedjo Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).

Bambang yang merupakan penulis dari buku tersebut menyebutkan bahwa paska PD, AS mengalami stagnasi dalam berpikir dan hanya mampu bertahan dalam tatanan lama. “Mereka hanya mampu berusaha mempertahankan superioritas Barat dengan melaksanakan pemenuhan ambisi intelektual dari Samuel Huntington yang memberikan prediksi mengenai clash of civilization. Ini yang kemudian menjerumuskan AS dalam banyak perang di Timur Tengah yang penuh dengan tragedi kemanusiaan yang bahkan mereka tidak berani mengaku sebagai dalang di balik fenomena tersebut,” ungkapnya.

Celah tersebut kemudian dimanfaatkan oleh Tiongkok untuk bangkit dan membangun negaranya. “Pada masa Deng Xiaoping, Tiongkok fokus untuk melakukan pembangunan dalam negeri dan tidak campur tangan dengan urusan internasional. Bahkan Xiaoping sampai meminta Presiden Jimmy Carter untuk menambah jumlah mahasiswa yang boleh masuk ke AS saat itu, karena Xiaoping tahu pembangunan kedepan akan dilakukan oleh para mahasiswa muda tersebut. Ini terus berjalan hingga masa Hu Jianto dan saat ini Xi jinping menyatakan Tiongkok akan menjadi negara sosialis modern yang kuat dan makmur pada tahun 2050,” ujar Bambang.

Untuk mencapai ambisi tersebut Tiongkok menerapkan beragam strategi mulai dari aspek ekonomi hingga politik luar negeri. “Dalam bidang ekonomi, Tiongkok menerapkan state own enterprise yang didukung penuh oleh pemerintah. Dukungan yang besar tersebut membuat Tiongkok berhasil melewati krisis dunia pada tahun 2008. Tiongkok juga berhasil bertransformasi dari negara imitator menjadi inovator dengan pemanfaatan artificial intelegence technology yang maju. Bahkan saat ini menjadi pasar e-commerce terbesar di dunia berkat perkembangan teknologi dan dukungan pemerintah,” paparnya.

“Di bidang pendidikan, perguruan tinggi Tiongkok masuk dalam jajaran 500 universitas top dunia yang unggul dalam produktifitas ilmiah. Sedangkan dalam politik luar negeri, Tiongkok menerapkan kebijakan yang berfokus pada kepentingan negara dengan menjalin hubungan yang menguntungkan dengan negara lain. Misal dengan inisiatif pembangunan proyek one belt one road, ini bertentangan dengan paradigma Barat yang mengedepankan pendekatan militer dan pemaksaan nilai Barat. Ini yang kemudian membuat dominasi Barat terancam dan berusaha dihalau oleh AS,” jelas Bambang.

Meski Tiongkok mengalami kemajuan yang demikian pesat, Dr. Sidik Jatmika, M.Si yang juga menjadi pembicara dalam diskusi tersebut menyebutkan agar tidak mengesampingkan sisi gelap dari Tiongkok. “Tiongkok juga mengalami beberapa kritik oleh dunia internasional. Terlebih untuk isu kemanusiaan seperti kebijakan satu keluarga satu anak, dan dugaan pelanggaran kemanusiaan terhadap masyarakat Islam di Uighur. Begitu pula dengan masalah lingkungan yang juga mengancam agenda pembangunan berkelanjutan global,” ungkapnya. (raditia)