Yogyakarta, medio 1981. Beberapa alumni Madrasah Muallimin Muhammadiyah berkumpul. Mereka sedang prihatin. Almamater tercinta dalam kondisi terpuruk. Jumlah siswa dari kelas satu sampai enam tidak lebih dari seratus siswa. Untuk itu mereka berniat mendirikan Pesantren Luhur, sebuah ide lama dari tokoh Muhammadiyah K.H. Mas Mansur. Tetapi pada suatu sore dua dari alumni ini dalam perjalanan. Karena hujan lebat mereka berhenti di kantor PP Muhammadiyah Jalan. KHA. Dahlan. Tanpa mereka sadari di sana sedang berlangsung rapat pleno menentukan rektor sebuah Universitas Muhammadiyah (UM) yaitu UM Jakarta. Lalu mereka berpikir, mengapa mereka tidak mendirikan universitas Muhammadiyah juga di Jogja. Mereka lalu menyampaikan ide itu pada pimpinan Mapendappu, semacam Majelis Dikti kini. Tanpa diduga ide mereka didukung Pak Projokusumo ketua dan Pak Haiban sekretaris Mapendappu PP Muhammadiyah kala itu.
Ide spontan mendirikan universitas dari alumni Muallimin ini terus bergulir. Meski mereka tidak pernah menjadi dosen sebelumnya. Mereka umumnya guru saja. Pak Alfian Darmawan adalah salah satunya dan menceritakan kisah ini pada acara Refleksi Milad ke-42 UMY, Selasa, 27 Februari 2023. Pada masa itu sebenarnya ada dua anak muda Muhammadiyah yang menjadi orang kampus. Tapi mereka belum pulang. Pak Dasron Hamid masih di Australia dan Pak Amien Rais masih di Amerika. Para alumni Muallimin founding father ini lalu mengunjungi Brigjen Bakri Syahid, alumni Muallimin lainnya, rektor IAIN Sunan Kalijaga. Pada masa itu juga sedang berlangsung Musywil PMW DIY. Maka ide mendirikan UMY menemukan momentumnya. Jadi secara ide UMY dimunculkan para alumni Muallimin. Secara legal formal UMY diresmikan PWM DIY melalui salah satu keputusan Musyawarah Wilayah pada 1 Maret 1981.
Setelah berdiri, UMY dipimpin Pak Bakri Syahid sebagai Rektor. Beliau didampingi Pembantu Rektor (PR)-1 Pak Dasron Hamid, PR-2 Pak Mustofa Kamal, PR-3 Pak Amien Rais, Sekretaris Pak Alfian, dan Bendahara Pak Daim. Lalu kapan mulai membuka pendaftaran mahasiswa baru? Masalahnya UMY masih serba terbatas. Belum memiliki satupun gedung dan tidak ada uang sama sekali. Rapat-rapat banyak diselenggarakan di rumah Pak Dasron. Mereka yang lebih tua cenderung menunda penerimaan mahasiswa baru. Sedangkan yang lebih muda menginginkan segera. Pak Muchlas Abror ketua PWM DIY ternyata setuju dengan anak muda. Maka dimulailah penerimaan mahasiswa baru. UMY lalu mengontrak sebuah ruang kecil, sebuah toko yang kini menjadi jadi toko parfum di dekat PP Muhammadiyah Jln. KHA Dahlan. Mahasiswa baru masuk sejumlah 211 orang. Untuk perkuliahan dipinjam gedung SPG Muhammadiyah-1, kini SMA Muhammadiyah 7 di simpang empat Wirobrajan.
Sebagaimana Muallimin, UMY adalah sebuah gagasan besar untuk melahirkan calon pemimpin Muhammadiyah masa depan. Tetapi harus diawali dengan tertatih-tatih. Pada masa awal, perkuliahan dilaksanakan nomaden, berpindah-pindah. Sehingga mahasiswa protes, kapan UMY memiliki kampus sendiri. Maka dengan segala keterbatasan pada 1985 didirikan gedung mungil satu lantai. Ukuran 6×10 m2 di ujung lapangan ASRI Jalan HOS Cokroaminoto. Ruang sederhana ini menjadi ruang pimpinan sekaligus ruang kuliah. Pada masa ini penulis sebagai aktivis IPM Kota Jogja beberapa kali berkegiatan di lapangan ASRI. Kami menggunakan lapangan ini untuk mengumpulkan siswa sekolah Muhammadiyah se kota Jogja. Kami mengenal gedung perdana UMY itu sebagai SD Inpres. Kurang menarik minat kami lulusan sekolah menengah Muhammadiyah untuk kuliah di sini. Apalagi bagi kami alumni SMA Muhi. (SMA Muhammadiyah Satu Yogyakarta, red).
Pada suatu titik UMY tidak lagi punya dana untuk membangun. Tandas setelah membangun ruang SD Inpres itu. Tetapi Allah sayang pada UMY. Datanglah “malaikat” bernama Mulyoto Joyomartono. Pak Mul, panggilan akrabnya, anak Pak Mulyadi Joyomartono tokoh Muhammadiyah mantan Menteri Sosial. Sebagai petinggi Bank Exim, Pak Mul datang dengan uang kontan. Ini menjadi modal UMY membangun gedung pertama berlantai empat. Sebuah masjid indah juga dibangun dengan nama Masjid Amal Mulya. Pak Mul juga membuka pintu bagi UMY mengakses dana perbankan. Berbagai inovasi dijalankan. Secara rutin Menteri dihadirkan. Habibi Menristek turun dari helikopter di Lapangan ASRI. Maka UMY digelari Universitas Menteri Yogyakarta. Maka perlahan UMY terus berkembang. Tetapi bahwa UMY bisa seperti sekarang, tidak ada yang pernah membayangkan. Pak Alfian berujar, “Ini semua anugerah Allah. Maka kita perlu bersyukur.”
Empat puluh dua tahun kemudian UMY kini sudah sangat besar. Pada tahun 2023, menurut Rektor UMY, Prof. Ir. Gunawan Budiyanto, MP, IPM, ASEAN.Eng UMY memiliki 23.000 lebih mahasiswa, 278 dosen Doktor, dan 125 calon Doktor. Para dosen berkiprah di berbagai lembaga tingkat nasional. Sebagian memimpin lembaga negara. Kerjasama internasional berjalan intensif. Sejak 2020 UMY sudah bisa membiayai sendiri dosennya kuliah di Eropa. Alumni UMY menunjukkan kiprah yang besar dan mendunia. Beberapa menjadi diplomat bahkan Duta Besar. Lalu tersedia beasiswa untuk mahasiswa yang ingin mendapatkan double degree di Taiwan. Juga ada kerja sama yang dilakukan dengan Filipina, Thailand, dan Korsel. Setahun kuliah di Indonessia setahun di luar negeri. Pak Gun berkata kepada mahasiswa, “Masa depan milik kalian. Kalian yang hadir di sini akan jadi tokoh bangsa di masa depan. Kampus baru alumninya harus lebih bagus. Bukan hanya jadi Duta Besar. Bahkan jadi Presiden.”
Maka Milad ke-42 UMY menjadi momentum untuk bersyukur. Pak Gun menegaskan refleksi bukan kesombongan. Tapi lebih pada mencoba berpikir ulang, kembali ke masa lalu. Bagaimana proses yang dulu dilakukan dan UMY masih on the track atau sudah serong. Sedangkan malam Refleksi Milad dihadiri dosen, karyawan, perwakikan mahasiswa, dan pensiunan UMY. Hadir juga dua tamu istimewa istri pendiri: Bu Mustofa Kamal dan Bu Humam Zainal. Acara juga dimeriahkan berbagai hadiah, antara lain dua sepeda motor. Lima sepeda motor akan dibagikan saat Family Day. Lalu akan dibagikan 45 paket umroh bagi pegawai. Lalu ada insentif Ramadan, tabungan pensiun, dan kenaikan THR . Semua masuk langsung ke payroll. Nama-nama peserta umroh akan diumumkan nanti saat Syawalan. Menurut Bu Adhiyanty Nurjanah, Kepala LPSDM,”ini semua sebagai upaya peningkatan indeks kebahagiaan warga UMY.”
Selanjutnya Agung Danarto Ketua BPH UMY menguraikan tentang kunci kebahagiaan. Ada dua: sabar dan syukur. Ada banyak hal yang perlu disyukuri di UMY ini. Prestasi akademik sudah luar biasa. Banyak Profesor dan Doktor. Ke depan diharapkan UMY makin jaya. Tetapi dalam jumlah mahasiswa Pak Agung melihat UMY harus mengejar UAD saudara kandungnya. Dari segi pendaftar UMY sudah sangat banyak. Bagi Pak Agung ini hanya soal political will. Tentu juga dengan menyiapkan sarpras. Ini mumpung akreditasi Unggul masih berlaku empat tahun. Lanjut Pak Agung para dosen UMY juga bisa menggunakan dua kunci kebahagiaan ini. Ketika ada keinginan yang belum tercapai, bersabarlah. Bahwa masih menjadi dosen di UMY, bersyukurlah. Di luar sana paska covid ada banyak orang yang tidak bisa lagi mengajar karena kampusnya tutup. “Stres sedikit karena tekanan Scopus tidak apa-apa. Yang penting masih punya pekerjaan.”
Rangkaian Malam Refleksi Milad Ke-42 ini ditutup pengajian Kyai Dr. H. Tafsir, M.Ag., Ketua PWM Jateng. Kyai Tafsir menyampaikan tentang periode 40-an tahun pergantian generasi mengacu pada teori Ibnu Khaldun. Bahwa manusia dewasa setelah 40 tahun. Teori ini digunakan Khaldun memahami lembaga. 40 tahun pertama adalah masa peletakan dasar dan 40 tahun kedua masa menikmati. UMY kini memasuki masa kedua. Dalam hal ini dosen muda yang masuk pada 40 tahun kedua harus lebih banyak bersyukur. Mereka tidak mengalami masa meletakkan pondasi. Masa ngrekoso, masa sulit. Kalau tidak pandai mewariskan nilai-nilai maka akan muncul generasi ketiga yang menjadi generasi perusak. Generasi yang tidak pandai bersyukur, ngamukan, manja. Lanjut beliau, “penting sekali generasi penerus dididik faham semangat generasi pertama. Sehingga UMY tetap istiqamah. Walau mungkin ada satu dua yang ngeyel.”
Duduk bersama lintas generasi juga penting untuk menjaga visi-misi. Dengan begitu visi-misi tetap dihayati bersama. Generasi kedua boleh menikmati kebesaran UMY kini. Tetapi tetap dengan penuh kesyukuran karena tahu sejarah UMY. Bahwa Kampus Terpadu tiga puluh hektar lebih dengan gedung-gedung megah saat ini diawali dengan sebuah kantor kontrakan kecil. Sebelum kemudian memiliki gedung “SD Inpres” ukuran 6×10 di pojok lapangan ASRI. Demikian juga keluarga besar UMY perlu tahu bahwa Muhammadiyah berdiri di atas tiga pilar: jamaah, jam’iyah, dan Amal Usaha Muhammadiyah (AUM). Antar tiga pilar ini harus dibangun sinergi yang baik. Bukan sekedar kerja bersama. Tidak boleh AUM megah tetapi kantor Persyarikatan tidak jelas. Ini membuktikan tidak adanya sinergi. Lanjut Kyai Tafsir, “sinergitas antara jamaah, jamiah, dan UMY terus terjalin. Maka UMY makin jaya. Tidak hanya di Indonesia tapi di tingkat dunia.”
Jogja, lima tahun yang lalu. Aku sedang duduk santai di sebuah sudut kampus. Aku bersama beberapa dosen muda yang belum lama masuk UMY. Di tengah bincang akrab salah satu dosen berucap serius, “UMY ini pelit sekali pada kita. Gaji kita mana cukup memenuhi keluarga dengan layak.” Aku terkejut karena merasa pendapatanku dari UMY lebih dari cukup. Tetapi sejenak kemudian aku faham. Dulu ketika kuliah mereka berkendaraan roda empat. Tentu dibiayai penuh orang tua. Sekarang mereka menjadi kepala keluarga. Gaji mereka kini bisa jadi lebih kecil dari jatah bulanan dari orangtua dulu. Sedangkan aku ketika kuliah dulu tidak punya kendaraan. Bahkan sebuah sepeda pun. Maka menjadi dosen UMY bagiku sebuah kesyukuran. Rupanya kami memang beda generasi. Generasi kedua UMY telah lahir. Semoga mereka menjadi generasi kedua UMY, generasi penikmat tapi tetap bisa bersyukur. Tentu jika visi-misi UMY tersosialisasi dengan baik.
Menteng Raya 62 Jakarta, 10 Maret 2023
Mahli Zainuddin Tago