Berita

MK Berhasil Perkuat Demokrasi di Indonesia

img_0774

Mahkamah Konstitusi (MK) telah memberikan peran yang signifikan terhadap demokrasi Indonesia. Hal ini dikarenakan MK berhasil menjamin proses konsolidasi demokrasi di Indonesia. MK telah memberikan kontribusi signifikan dalam pelaksanaan pemilu 2004 dan 2009. Dalam kedua pemilu tersebut, MK telah banyak menyelesaikan sengketa pemilu sehingga menciptakan suasana politik yang relatif kondusif pasca pemilu. Indonesia telah melewati “two turn over test” demokrasi karena berhasil melewati 2 kali pemilu pasca transisi politik di tahun 1998.

Hal ini dikatakan oleh Iwan Satriawan, S.H, MCL., Ph.D dosen Fakultas Hukum UMY yang berkesempatan mempresentasikan disertasinya berjudul “Peranan Mahkamah Konstitusi RI dalam Memperkuat Demokrasi di Indonesia”, dalam acara bertajuk Diskusi Publik & Bedah Disertasi yang bertempat di Ruang Sidang Amphiteater Gd. Pasca Sarjana UMY lt.4, Selasa (11/10). Dalam acara ini, hadir pula dua orang panelis yang mengomentari disertasi tersebut yaitu, Prof. Dr. Ni’matul Huda,SH.M. Hum (Pakar Hukum Tata Negara dan Guru Besar Fakultas Hukum UII) dan Dr. Zainal Arifin Mochtar, S.H.,LL.M (Pakar Hukum Administrasi Negara UGM).

Dalam pemaparan disertasinya, Iwan mengungkapkan tujuan utama penelitiannya yaitu untuk mengevaluasi peran Mahkamah Konstitusi dalam proses penguatan demokrasi di Indonesia. Adapaun caranya yaitu dengan menganalisis putusan-putusan MK. “Penelitian ini merupakan penelitian hukum doctrinal dan aplikatif melalui kajian putusan hakim MK,”tuturnya.

Penelitian ini dilakukan dalam kurun 10 tahun sejak MK didirikan yaitu antara tahun 2003 hingga 2013. Selama 10 tahun berdirinya, MK telah menangani banyak sekali masalah. Tercatat 570 kasus judicial review dan sebanyak 685 kasus sengketa pilkada yang dilaporkan ke MK. Iwan menyebut, MK dinilai berhasil berperan signifikan dalam mengawal demokrasi di Indonesia. “Walaupun dalam kurun 10 tahun berdirinya MK, ada ketidakpuasan terhadap putusan-putusannya. Namun secara keseluruhan putusan-putusan MK bisa meredam potensi konflik yang ada di tengah masyarakat,”paparnya.

Selain itu, MK telah memberikan kontribusinya sebagai mediator atau fasilitator dalam penyelesaian sengketa kewenangan lembaga negara, walaupun dalam kurun 10 tahun berdirinya belum banyak sengketa yang diputuskan. “Beberapa putusan MK yang menarik dicatat misalnya Putusan MK no. 2/SKLN-X/2012 terkait sengketa kewenangan antara Presiden vs DPR dalam kasus divestasi 7% saham PT. Newmont dan juga Putusan MK No.3/SKLN-X/2012 terkait sengketa kewenangan antara KPU VS DPRD Papua dan Gubernur Papua dalam proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur,” tambahnya.

Namun demikian, di samping telah menorehkan kontribusi dalam proses konsolidasi demokrasi di Indonesia, ada beberapa catatan kelemahan MK secara kewenangan, struktur kelembagaan, prosedur dan pengawasan serta penegakan kode etik hakim MK. “Pertama, model MK yang tersentral di Jakarta menimbulkan problem dalam menyelesaikan sengketa pemilu, terutama untuk orang yang berada di ujung barat dan timur Indonesia. Kedua, dimasukkannya kewenangan menangani sengketa ke MK faktanya menjadi bumerang bagi MK. Pasalnya hal tersebut mengganggu fungsi utama MK sebagai penjaga konstitusi melalui judicial review. Penelitian menunjukkan tahun 2008-2013 MK lebih banyak menghadapi sengketa pilkada. Ketiga, MK menjadi lembaga yang super namun lemah dalam pengawasan. Memasuki akhir satu dekade MK, kesolidan MK mulai terganggu oleh oknum hakim dan staf MK. Ketua MK ketiga ditangkap oleh KPK dalam perkara suap dan ada staf yang diberhemtikan karena menggunakan kekuasaan di MK,”jelasnya.

Maka untuk mengatasi masalah yang ada di MK tersebut, Iwan memberikan rekomendasi kepada MK di akhir penutupnya. “Perlu adanya re- design kewenangan MK dan struktur MK. Masalah sentralisasi struktur MK bisa diselesaikan dengan melaksanakan sidang sengketa pilkada di beberapa zona, misalnya zona Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi. Selain itu, MPR juga perlu mempertimbangkan amandemen UUD 1945 terkait pengawasan MK, lembaga manakah yang secara otoritatif diberi mandat untuk mengawasi kehormatan hakim konstitusi. Pun juga dengan DPR yang perlu merevisi UU Mahkamah Konstitusi dengan melakukan penguatan pada aspek code of conduct of judges, sistem pendukung MK, dan mekanisme rekrutmen hakim konstutusi agar menjamin terpilihnya hakim konstitusi yang berkualitas,” tandasnya. (bagas)