Sistem norma hukum Indonesia membentuk bangunan piramida, norma hukum yang berlaku serta berada dalam satu sistem yang berjenjang-jenjang, berlapis-lapis, sekaligus berkelompok. Pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan wujud implementasi gagasan tentang negara hukum, yang salah satu cirinya adalah menempatkan konstitusi sebagai hukum tertinggi, bahkan berkontribusi besar bagi terciptanya kehidupan bernegara hukum yang demokratis. “Jika ditanya persoalan mana yang lebih berat antara politik dan hukum, menurut saya keduanya sangat bersinergi satu sama lain, karena keduanya memiliki peranan yang sangat penting di Indonesia yang merupakan negara yang demokrasi. Berbicara soal berdauat. Tentunya hal ini akan mengarah pada politik dan demokrasi, kita tidak bisa melarikan diri dari politik. Karena seperti yang tertera pada pasal 1 ayat 2, bahwa keadulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Dasar (UUD 1945), “ tegas Dr. Patrialis Akbar, S.H., M.H selaku Hakim MK saat memberikan materi kuliah umum yang berkaitan dengan “Penataan Sistem Hukum dan Kelembagaan Negara Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi” pada hari Kamis (17/9) di Gedung AR. Facrudin B Lt.5 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).
Dalam negara-negara demokrasi, politik itu memiliki peran penting untuk menumbuhkan sebuah negara. Bahkan dalam Islam, Rasulullah memiliki siasat dalam melakukan apapun misalnya dalam bergaul, memimpin, dan berdakwah. “Ada satu hal yang perlu diingat bahwa, demokrasi tidak boleh ditafsirkan oleh sekelompok orang, yang berdasarkan suara terbanyak apalagi dengan adanya tekanan poltik. Sebuah demokrasi pun harus dilandasi dengan hukum, seperti yang tertera pada pasal 1 ayat 3 yang menyatakan bahwa pelaksanaan demokrasi di Indonesia harus berlandaskan hukum, dan dalam menentukan hukum itu diciptakan dengan cara berdemokrasi, “ tambahnya.
Dalam menentukan, lanjutnya, sebuah keputusan politik yang diambil dalam UUD 1945, sebenarnya belum sepenuhnya benar. Karena masih banyak yang masih melanggar hak-hak orang lain, bahkan bisa dikatakan diskriminatif. “Inilah sebenarnya tujuan dari MK, yaitu guna menanggulangi atau mengatasi putusan-putusan politik yang lebih terkesan semena-mena, melanggar, dan sering disalahgunakan. Selain itu MK juga sebagai kekuasaan kehakiman yang merdeka sebagai katup penekan atas tindakan pelanggaran hukum tanpa kecuali, “ lanjutnya.
Keberadaan MK merupakan sebuah keharusan bagi suatu negara yang menganut sistem demokrasi. Berdasarkan pasal 24c Undang-Undang No.24 Tahun 2003, MK memiliki 4 kewenangan dan 1 kewajiban untuk mengawal konstitusi/ UUD 1945. “Empat kewenangan itu antara lain menguji UUD, memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara, memutuskan pembubaran partai politik, dan memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain itu MK juga diwajibkan untuk memberikan putusan atas DPR bahwa Presiden/ Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, seperti pengkhinat terhadap negara, korupsi, penyuapan, dan tindak pidana lainnya, “ paparnya.
Kewenangan MK itu, jelasnya, bekerja di dalam perintah konstitusi, harus berpedoman pada konstitusi. Dalam peradilan ketatanegaraan MK ditugaskan yang tidak akan pernah lepas dari persoalan ketatanegaraan yang ada. Dalam peradilan politik MK diberi kewenangan untuk mengadili kegiatan atau perkara-perkara politik, misalnya pada pemilihan umum yang bagian dari politik. Pada peradilan demokrasi, MK diberikan kewenangan untuk memberikan hukuman bagi politik yang melanggar konstitusi. “Secara umum, MK ini diberikan kewenangan untuk mengadili sengketa-sengketa di negara, bahkan dengan urusan ini pemerintah tidak bisa turut andil dalam menyelesaikannya, “ ungkapnya.
Dr. Pratialis bercerita bahwa, MK pernah melakkukan pembubaran salah satu lembaga pemerintahan, lembaga pemerintahan ini maksudnya dibuat guna melaksanakan tugas kepemerintahan. Ketika itu lembaga tersebut melakukan pelanggaran, dan akhirnya menurut keputusan MK lembaga tersebut akhirnya di bubarkan dan tidak bisa beroperasi lagi. “Itu baru salah satu contoh masih sengketa-sengketa yang diputuskan oleh MK. MK juga mememiliki kewenangan lain yang tidak bisa didapat oleh Mahkamah lain. Misalnya dalam hal pengawasan, Mahkamah Agung (MA) dapat diawasi Komisi Yudisium (KY), sedangkan MK tidak bisa diawasi oleh KY, “ terangnya.
Pada dasarnya presiden itu tidak dapat dijatuhkan dengan alasan politik, jika waktu zaman Gusdur memang boleh. Tapi, saat ini presiden tidak bisa diturunkan dari jabatannya jika melakukan pelanggaran. “Alasan itu muncul karena saat ini presiden dipilih oleh rakyat, bukan dipilih oleh MPR. Sistem inilah yang akan ada dalam MK dalam proses pemberhentian presiden, inilah yang akan diuji terkait dengan proses politik dan majelis kemasyarakatan, “ tutupnya.