Indonesia tercatat sebagai salah satu negara yang memiliki prevalensi perokok tertinggi di Asia Tenggara, hal itu dibuktikan dengan angka lebih dari 65 juta penduduk perokok dewasa aktif. Proporsi konsumsi tembakau (hisap dan kunyah) pada penduduk usia 15 tahun ke atas (2016 -2018) mengalami kenaikan dari 32.8% (Sirkesnas 2016) menjadi 33.8% (Riskesdas 2018) dan berdasarkan hasil Sirkesnas dan Riskesdas menunjukkan terjadinya peningkatan yaitu; dari 8,8% (Sirkesnas 2016) menjadi 9,1% (Riskesdas 2018).
Muhammadiyah sebagai organisasi yang konsisten terhadap penyebarluasan nilai-nilai Amar Ma’ruf Nahi Munkar mengambil sikap salah satunya mengeluarkan surat rekomendasi untuk Pemerintah Republik Indonesia. Muhammadiyah Tobacco Control Center (MTCC) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta bekerja sama dengan Muhammadiyah Tobacco Control Network, mengajukan surat rekomendasi Muhammadiyah tentang upaya pengendalian konsumsi tembakau di Indonesia yang ditanda tangani oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof. Dr. Haedar Nashir, M.Si dan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Prof. Dr. Abdul Mu’ti, M.Ed.
“Muhammadiyah memberikan surat langsung kepada Presiden RI Ir. Joko Widodo agar dapat merevisi PP No. 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan, serta kebijakan tentang kenaikan cukai rokok. Hal ini bukan untuk menentang kebijakan yang sudah dibuat pemerintah, tetapi Muhammadiyah ingin menemani pemerintah agar Indonesia bisa mencapai Sustainability Development Goals (SDGs),” tutur dr. Supriyatiningsih, Sp.OG., M.Kes., Dr.Med (Cand) dari Muhammadiyah Steps UMY, dalam acara press conference MTCC melalui virtual, Rabu (25/11).
Jumlah konsumen yang meningkat tidak dibarengi dengan kenaikan harga tembakau, dan nilai cukai rokok yang tidak memenuhi asas keadilan bagi produsen sendiri. Salah satu contohnya bisa diambil dari provinsi Jawa Tengah yang notabene menjadi salah satu dari tiga provinsi di Indonesia sebagai penghasil tembakau terbesar, selain Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat.
Terdapat 25 kabupaten dari 35 kota/kabupaten di Jateng sebagai produsen tembakau. Jumlah produksinya dalam kurun waktu 4 tahun terakhir mengalami peningkatan yang signifikan dari 27.924 ton/tahun menjadi 48.359 ton/tahun. Namun peningkatan tersebut tidak diikuti dengan peningkatan harga tembakau, yang telah menjadi keresahan bagi para petani.
Dra. Retno Rusdjijati M.Kes ketua Muhammadiyah Tobacco Control Center (MTCC), Universitas Muhammadiyah Magelang memaparkan penelitiannya yang dilakukan di Kabupaten Magelang, Temanggung, Boyolali, Klaten, Kendal, Wonosobo, dan Pemalang kepada para petani tembakau yang belum merasakan kesejahteraan terhadap kenaikan harga, padahal produksinya sangat meningkat dan kualitas dari tembakaunya tetap terjaga dengan baik.
“Petani masih rutin menanam tembakau setiap tahun baik secara monokultur maupun polikultur (45% dan 40%). Alasan mereka terus budidaya tembakau meskipun harganya tak kunjung naik karena tidak adanya komoditas lain yang bisa dibudidayakan dan menghasilkan keuntungan yang lebih besar. Dalam kondisi apapun, petani masih akan menanam atau berhubungan dengan tembakau, karena tembakau sudah merupakan tradisi yang bersifat turun temurun.” tukasnya. (Hbb)