Pemilihan Presiden (Pilpres) Indonesia baru akan dimulai dua tahun mendatang, tahun 2024. Namun isu-isu seputar pesta demokrasi terbesar ini sudah tumpah ruah di masyarakat, diantaranya adalah isu mengenai siapakah sosok yang digalakkan untuk menjadi bakal calon presiden Indonesia. Dilansir dari berbagai media, baru-baru ini partai politik Nasional Demokrat (NasDem) mengusung tiga nama sebagai rekomendasi bakal calon presiden. Tiga nama tersebut adalah Anies Baswedan, Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah, dan Jenderal Andika Perkasa, Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dengan ini, partai NasDem pun menjadi partai politik pertama yang mendeklarasikan calon presidennya.
Menanggapi isu ini, Dr. Tunjung Sulaksono, S.IP., M.Si., Pakar Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) saat dihubungi pada Kamis (23/6), menjelaskan bahwa kemunculan nama-nama tokoh yang dianggap berpeluang untuk menjadi calon presiden ke permukaan adalah hal yang wajar, karena pada pilpres figur atau ketokohan lebih berperan dibandingkan dengan partai politik. Kendati demikian, sesuai dengan Undang-Undang Pemilu No. 7 Tahun 2017 jelas tertulis bahwa calon presiden harus diajukan oleh partai politik yang memiliki minimal 20% kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) atau 25% suara sah secara nasional. Ini berarti ketokohan tersebut harus didukung dengan adanya partai politik.
“Mungkin saja melalui deklarasinya ini, NasDem secara politis berharap adanya implikasi masyarakat untuk melihat NasDem sebagai partai dan memberikan keuntungan dalam pemilu legislatif. Dari ketiga nama yang diusung tersebut, tidak ada satupun yang merupakan kader partai NasDem. Lho, terus kenapa direkomendasikan? Bisa saja agar partai NasDem tercatat sebagai partai yang berani memunculkan capres pertama. Bisa dibilang untuk menarik perhatian masyarakat,” tambah Tunjung.
Dua nama yang diusung NasDem, Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo masih menjabat sebagai kepala daerah di daerah masing-masing. Namun, keduanya bisa dikatakan cukup populer dalam bursa bakal calon presiden. Bagi dosen Ilmu Pemerintahan ini, posisi Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo saat ini dapat dikatakan sebagai sebuah investasi dalam dunia politik. Secara tidak langsung saat menjalankan kepemimpinannya, seorang kepala daerah telah menanamkan pengaruhnya atau melakukan kampanye. “Paling tidak jika menjabat dalam satu periode, lima tahun dekat dengan masyarakat sudah merupakan kampanye gratis. Artinya jika kepemimpinannya berhasil, maka simpatisan dari daerah akan datang dengan sendirinya. Lalu, pengalaman dalam pemerintahan pada tingkat daerah dengan seluk beluk yang ada sudah cukup untuk menjadi bekal. Mudah sekali untuk dilihat, jika memimpin daerah saja awut-awutan ya perlu dipertanyakan,” imbuhnya.
Nama Jenderal Andika Perkasa yang masih aktif dalam dunia militer juga turut diusung oleh NasDem, padahal dalam aturannya seseorang yang masih aktif di TNI tidak boleh berpolitik bahkan tidak memiliki hak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum. Untuk itu, jika pencalonan Jenderal Andika Perkasa ini benar-benar terjadi, maka beliau harus melepaskan status
kemiliterannya. Menurut Tunjung, background militer yang dimiliki oleh Andika adalah sebuah kelebihan tersendiri. “Perjalanan karir yang panjang dan berpindah-pindah tempat tentu saja memperdalam pengalaman serta pemahaman seorang militer mengenai sebuah daerah. Sosok dengan latar belakang militer ini juga kerap dikenal sebagai sosok yang tegas, ketegasan ini dianggap oleh sebagian masyarakat sebagai sebuah keuntungan,” terang Kepala Program Studi Ilmu Pemerintahan UMY ini.
Ketiga nama tersebut menurut Tunjung sama-sama memiliki kesempatan untuk benar-benar naik menjadi calon presiden dan wakil presiden pada tahun 2024 mendatang dengan kompetensi dan kapabilitas yang dimiliki, namun hal ini akan dikembalikan lagi kepada partai politik sebagai kendaraan politik untuk bisa mencalonkan diri. Lebih lanjut, Tunjung menjelaskan bahwa pemerintah yang terbentuk nantinya adalah pemerintah koalisi dari berbagai partai politik. Ini disebabkan oleh tidak adanya partai politik yang dapat meraih suara mayoritas. Pencarian partner koalisi yang tepat menjadi tantangan tersendiri dalam pelaksanaan pilpres ke depannya.
Sejak awal masa kemerdekaan, Indonesia telah dipimpin oleh berbagai rezim pemerintahan dengan jasanya masing-masing dalam memajukan negara, namun masing-masing tokoh juga memiliki titik kelemahan. Diterangkan oleh Tunjung, sosok pemimpin yang ideal bagi bangsa ini adalah seseorang yang bisa mengambil pelajaran dan hikmah dari semua yang telah dilalui. Dan pada satu sisi pemimpin harus berorientasi kepada kepentingan rakyat karena Indonesia merupakan negara demokrasi. Sayangnya dalam rezim saat ini, Indonesia mengalami kondisi state qua state. Artinya, pemerintah masih memikirkan dirinya sendiri dan belum secara penuh berorientasi kepada rakyat. Demokrasi Indonesia akhir-akhir ini mengalami backsliding atau kemunduran dimana demokrasi Indonesia bukannya maju ke depan dan menjadi established democracy namun mundur lagi kebelakang.
“Yang paling kasat mata kemarin itu adalah kasus Omnimbus Law. Rakyat di seluruh Indonesia kompak bergerak turun ke jalan untuk menolaknya, namun pemerintah tetap jalan terus. Jadi kan ndak nyambung apa yang diharapkan oleh rakyat dengan yang dijalankan oleh pemerintah. Lalu adanya UU ITE yang membatasi rakyat untuk berpendapat dan mengeluarkan kritiknya kepada pemerintah. Harapannya, nanti presiden yang terpilih adalah presiden yang mau mendengarkan suara rakyat. Tugas bagi presiden selanjutnya untuk mengembalikan kepercayaan publik kepada pemerintah. Selain itu kesejahteraan rakyat juga harus menjadi perhatian utama presiden,” pungkasnya. (ays)