Meskipun SBY telah mengadakan konferensi pers tentang monarki terkait RUU Keistimewaan Yogyakarta, namun hal tersebut tidak berpengaruh signifikan untuk meredam isu yang telah menjadi polemik. Dilihat dari sisi komunikasi politik, pernyataan tersebut juga semakin menurunkan kepercayaan masyarakat kepada SBY.
Hal itu diungkapkan Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Fajar Junaedi, M.Si dalam diskusi terbatas “Telaah Komunikasi Politik SBY-Sultan” di Kampus Terpadu UMY, Jumat (3/12) siang.
Menurutnya, hal ini lantaran opini publik sudah berkembang luas. Di situs jejaring sosial misalnya, khalayak bersuara miring kepada SBY. “Di era media dalam komunikasi politik saat ini, pesan yang sudah tersebar sulit untuk ditarik lagi oleh komunikator pesan tersebut,” urai Fajar.
Sementara itu, dilihat dalam kacamata komunikasi politik, Fajar mengatakan, media menjadi platform bagi wacana publik dan mampu memfasilitasi pembentukan opini publik sekaligus mengembalikan opini publik tersebut darimanapun asalnya kepada warga negara.
“Dalam konteks polemik SBY- Sultan, media massa memberikan kesempatan kepada publik, baik dari Yogyakarta maupun di luar Yogyakarta untuk membangun opini publik. Dipandang posisi SBY sebagai komunikator politik, maka pernyataan SBY tentang monarki tidak sesuai dengan demokrasi perlu dipertanyakan. Jika masyarakat Jogja memilih penetapan, bukan pemilihan, maka pilihan terhadap penetapan ini juga suara rakyat. Pilihan ini adalah vox populi, vox dei yang berarti suara rakyat, suara Tuhan,” jelas Fajar.
Dampak dari pernyataan pandangan SBY itupun, dikatan Fajar juga menjadikan publik semakin turun kepercayaannya kepada SBY. “Apalagi SBY memberikan pernyataan saat masyarakat Yogyakarta sedang berduka pascaerupsi Merapi. Momentum pernyataan SBY sangat tidak mempertimbangkankondisi psikologis masyarakat Yogyakarta,” imbuhnya.