Pakar hukum, aktivis lingkungan, dan akademisi kritisi Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja. Menurut mereka, masih banyak catatan yang harus diperhatikan oleh pemerintah bila RUU tersebut disahkan. Hal tersebut disampaikan oleh Dr. H. M. Busyro Muqoddas, M.Hum., Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum dan HAM, Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), dan David Efendi, S.IP., MA., Dosen Ilmu Pemerintahan UMY pada Webinar Publik dengan topik “RUU Omnibus Law Cipta Kerja: Ditentang, Dilanjutkan dan Dipaksakan”.
Dalam webinar yang diselenggarakan oleh Laboratorium Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (Lab IP UMY) pada Jum’at (7/8) ini, Busyro mengkritik keras langkah yang diambil oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) yang tetap melanjutkan pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Menurutnya, RUU Omnibus Law Cipta Kerja tidak dapat lepas dari satu realitas yang sudah didasarkan pada sejumlah indikasi, yang mana realitas itu menggambarkan komponen-komponen atau elemen-elemen masyarakat sipil mengalami disfungsi dalam waktu yang cukup lama.
“Kala kekuatan masyarakat sipil ini mengalami situasi disfungsi, maka tidak ada peran demokrasi lagi dalam arti demokrasi yang aktif, yang mestinya itu bisa dijalankan oleh teman-teman di DPR. Tetapi, kita mengetahui, DPR sudah menjadi representasi dari kekuatan modal,” ungkap mantan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut.
Selain itu, Busyro mengatakan bahwa akan ada bahaya yang menanti apabila RUU Omnibus Law Cipta Kerja disahkan. “Kalau RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini sampai dipaksakan dan berhasil, kita akan dapat limbah politiknya,” ujarnya.
Sementara itu, Nur Hidayati mengatakan bahwa RUU Omnibus Law Cipta Kerja adalah ibarat jurus pamungkas yang memporak-porandakan seluruh sendi-sendi atau prinsip-prinsip tata kelola lingkungan dan sumber daya alam yang baik.“Walhi menolak RUU Omnibus Law Cipta Kerja karena memang secara prinsip dan secara semangatnya, kami sudah menelaah RUU ini, memang tidak ada semangat untuk meningkatkan kesejahteraan. Bahkan kalau ini dengan judulnya cipta kerja, justru di dalam RUU ini bertentangan dengan judul cipta kerja itu sendiri,” ujar Mbak Yaya, panggilan akrabnya.
Pada kesempatan tersebut, Mbak Yaya juga menyinggung tentang peran mahasiswa dalam mengawal jalannya pemerintahan, khususnya mengawal setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. “Mahasiswa merupakan komunitas intelektual, sehingga wajib mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah, karena ini menyangkut masa depan generasi muda,” tuturnya.
Pembicara terakhir pada webinar tersebut, David Efendi , lebih fokus membicarakan tentang hubungan RUU Omnibus Law Cipta Kerja dengan masa depan lingkungan. Ia mengatakan bahwa di masa sekarang apabila seorang aktivis pejuang lingkungan memiliki perbedaan pandangan dengan rezim, ia harus menghadapi buzzer-buzzer di sosial media.
David menegaskan bahwa banyak kalangan termasuk organisasi-organisasi besar di Indonesia telah mengambil sikap untuk menolak RUU Omnibus Law Cipta Kerja. “NU (Nahdlatul ‘Ulama) dan Muhammadiyah sudah nyata-nyata menolak RUU Omnibus Law Cipta Kerja, tetapi rupanya keserakahan sedang memimpin negeri ini,” ungkapnya. (Bhk)