Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI merevisi Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Tatib). Revisi ini memungkinkan DPR melakukan evaluasi, termasuk mencopot pimpinan lembaga negara yang telah mengikuti proses uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) di DPR, seperti pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hingga Hakim MK dan MA.
Hal ini ditanggapi oleh Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. King Faisal Sulaiman, S.H., LLM., ia khawatir jika tatib ini disahkan, DPR berpotensi menjadi lembaga yang otoriter, seolah-olah menjadi “superbody” atau “superhero” dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Ia menilai langkah ini prematur, inkonstitusional, inprosedural, dan bertentangan dengan prinsip negara hukum.
King menegaskan bahwa DPR harusnya bisa memahami batasan kewenangannya dalam menjalankan fungsi pengawasan. Menurutnya, DPR tidak bisa mencopot pimpinan lembaga negara secara serampangan.
“Penafsiran kewenangan dalam melakukan pengawasan tidak boleh sampai pada tahap mengamputasi, melakukan penetrasi, atau intervensi terhadap lembaga lain. Karena ini sudah masuk wilayah intervensi yang memungkinkan DPR membatalkan pejabat negara yang dianggap bermasalah, yang pada akhirnya sarat dengan kepentingan politik,” ujarnya saat ditemui Humas UMY di ruang kerjanya, Jum’at (7/2).
King yang juga Direktur Pusat Konsultasi dan Bantuan Hukum (PKBH) Fakultas Hukum UMY, mengingatkan bahwa UUD 1945 telah membagi kewenangan kekuasaan dalam tiga cabang utama: legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Sehingga tatib DPR seharusnya hanya mengatur urusan internal DPR, bukan menjadi alat untuk mengamputasi ketentuan undang-undang yang memiliki aturan yang lebih tinggi.
Dari sudut pandang hukum, King menilai bahwa revisi ini telah menyalahi hierarki peraturan perundang-undangan.
“Bagaimana cerita kok bisa urusan rumah tangga bisa secara sepihak menabrak berbagai undang-undang yang secara khusus mengatur lembaga-lembaga negara seperti Mahkamah Konstitusi dan kementerian? Padahal Semua lembaga negara memiliki kedudukan yang setara dalam sistem ketatanegaraan kita, Tidak ada perlakuan disparitas atau diskriminasi. Jadi tidak ada alasan lain yang bisa logis secara hukum kecuali kita patut menduga bahwa jangan-jangan DPR ini masuk angin atau keluar angin. Namanya rekomendasi, itu tidak bisa mengikat, kan hanya masukan, jadi harusnya tidak bisa mengikat. Itu dari segi kewenangan,” tegasnya.
Menurutnya, jika revisi ini tetap diberlakukan, dampaknya akan besar, pertama, DPR akan kehilangan marwahnya sebagai representasi rakyat dan malah menjadi lembaga yang mendominasi lembaga lainnya. Kedua, sistem negara hukum kita bisa runtuh karena aturan main yang telah disepakati dalam konstitusi tidak lagi diindahkan.
Ia pun menjelaskan bahwa pemberhentian pejabat negara harus didasarkan pada alasan-alasan konstitusional yang ketat, bukan sekadar diatur dalam peraturan tata tertib DPR.
“Pejabat negara umumnya diberhentikan dalam dua kategori, yakni karena masa jabatannya telah selesai atau karena ada pelanggaran yang ditetapkan melalui mekanisme internal seperti majelis etik. Setiap lembaga negara memiliki mekanisme pengawasan internal dan tidak boleh diintervensi oleh lembaga lain secara sewenang-wenang,” tambah pakar hukum tata negara UMY ini lagi.
Lebih jauh, menurut King, revisi ini sebaiknya dibatalkan karena bersifat inprosedural dan inkonstitusional. Ia menyarankan agar DPR sebaiknya fokus pada isu-isu yang lebih mendesak, seperti kelangkaan gas elpiji dan penyelesaian proyek pagar laut yang belum tuntas. Ini akan lebih bermanfaat bagi masyarakat daripada menghabiskan energi untuk mengurus lembaga lain di luar kewenangannya.
“Saya kira masih banyak pekerjaan DPR yang lebih urgent dan lebih sesuai dengan kebutuhan hari ini. Salah dua diantaranya itu tadi, itu akan jauh lebih efektif daripada mereka ikut cawe-cawe mengurus lembaga negara yang bukan kewenangan dan bukan rumah tangga dia. jadi marilah menghormati prinsip rumah tangga otonom masing-masing lembaga negara, kalau tidak, negara kita bisa bercerai, talak 1, talak 2 atau talak 3, itulah yang berbahaya,” tutup King. (Mut)